Shidew

Sabtu, 04 Juni 2011

Kurikulum Berbasis Kompetensi

KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI
oleh:
Prof.Drs.Dewa Komang Tantra,Dip.App.Ling,MSc,Ph.D
ABSTRAK
Kompetensi merupakan sebuah konsep yang masih sering diperdebatkan
secara sengit, tergantung siapa yang menggunakan konsep itu. Pendukung kurikulum
berbasis kompetensi (KBK) yakin bahwa KBK dapat meningkatkan pendidikan atau
pelatihan dan persyaratan kerja. KBK bersifat individualis, lebih menekankan
outcomes (apa yang diketahui dan dapat dilakukan oleh seorang individu). KBK
memperjelas apa yang harus dicapai dan standar apa yang digunakan untuk
mengukur pencapaian tersebut. Secara teoritis, KBK menyelesaikan pembedaan
antara tangan dan pikiran, teori dan praktek, dan pendidikan umum dan vokasional.
Pengritik KBK, menengarai KBK sangat simplistis, berpendekatan kompetensi
tunggal, terlalu mahal, birokratis, sarat beban, dan memerlukan banyak waktu.
Terlepas dari kelemahan (internal) dan kendala (eksternal) tersebut, KBK merupakan
sebuah pendekatan dalam pengambilan kebijakan dalam pendidikan. Maka dari itu,
prinsip dasar yang harus digunakan untuk menjadikan KBK sebuah realita dalam
pendidikan nasional kita, dan bukan sebuah mitos adalah dengan mengubah
kelemahan dan kendalanya menjadi sebuah kekuatan dan peluang.
Kata kunci : kurikulum berbasis kompetensi, mitos, realita.

ABSTRACT
Competence is a contested concept, the meaning of which is shaped by those who use
it. Proponents of competency-based curriculum promote it as a way to improve the
correspondence between education/training and workplace requirements. It is
individualized, emphasizes outcomes (what individuals know and can do). It makes
as clear as possible what is to be achieved and the standards for measuring
achievement. In theory, it overcomes the divide between hands and mind, theory and
practice, general and vocational education. Oponents of competency-based
curriculum charges it as being too simplistic, too one competency-based approach,
too costly, bureaucratic, cumbersome, and time consuming. However, it should be
acknowledged as a policy approach, where one has to turn up weaknesses and
threats into strength and opportunities to make competency-based curriculum a
reality, not a myth
Key words : competency-based curriculum, myth, reality
2
1. PENDAHULUAN
Selama kurun waktu 59 tahun, pendidikan tinggi di Indonesia mengalami
perubahan kurikulum beberapa kali. Berdasarkan atas Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional model kurikulum
untuk meningkatkan mutu pendidikan yang diterapkan di semua jenjang pendidikan di
Indonesia adalah berbasis kompetensi (selanjutnya: KBK). KBK dimaksudkan untuk
dapat mencapai keunggulan bangsa, sehingga mampu bersaing di dunia (nation
competetiveness) (Depdiknas,2002d:4; Mulyasa,2002:8; cf.Higher Education Long-Term
Strategy,2003).
Dewasa ini, situasi pendidikan di Indonesia sangat kurang menguntungkan.
Secara makro, pendidikan di Indonesia diarahkan untuk menanggulangi dampak krisis
multi-dimensi yang berkelanjutan, antara lain :berkaitan dengan akses masyarakat pada
pendidikan yang berkualitas, pengarus-utamaan jender (gender mainstraiming), perluasan
keterampilan bekal hidup (broad-based education/life skill), demokratisasi pendidikan,
dan desentralisasi pendidikan. Secara mikro, tantangan yang dihadapi dunia pendidikan
di Indonesia, antara lain: meningkatkan daya saing bangsa (nation competetiveness) ,
menciptakan suatu organisasi pendidikan yang sehat (education organization health), dan
pencapaian baku mutu pendidikan (education quality standards), baik di tingkat nasional
maupun internasional. Untuk itu semua, Pemerintah Indonesia menetapkan KBK sebagai
sebuah strategi kurikuler untuk menjawab semua tantangan di atas.
Beberapa kalangan ahli pendidikan berpandangan, bahwa pendidikan berbasis
kompetensi (selanjutnya: PBK) merupakan jawaban jitu terhadap permasalahan mutu
pendidikan. Sedangkan kalangan ahli lainnya berpandangan bahwa PBK merupakan
jawaban yang keliru (Harris dkk.,1995). Awalnya, PBK menuai popularitas di Amerika
Serikat pada tahun tujuh-puluhan sebagai dasar untuk pendidikan vokasional bagi tenaga
kependidikan. PBK juga sangat berkembang di Inggris dan Wales pada awal tahun 1986.
Popularitas PBK cepat merambah Selandia Baru, Australia, dan Indonesia pada sekitar
paruh akhir dari tahun delapan-puluhan. Di satu sisi PBK menuai popularitas, namun di
sisi lain PBK tidak terlepas dari sasaran kritik yang amat pedas. Perdebatan sengit tentang
dampak PBK terjadi di Australia dan Inggris (Chappel, 1996; Ecclestone, 1997; Hyland,
1994).
3
Tujuan penulisan tentang KBK dimaksudkan sebagai sebuah tinjauan kritis
terhadap aspek-aspek KBK dalam kaitannya dengan manajemen mutu pendidikan
berbasis kompetensi (competency-based education quality improvement). Manfaat yang
dapat dipetik dari mengritisi KBK adalah untuk meningkatkan kesadaran para pendidik
dan tenaga kependidikan lainnya akan pentingnya pengetahuan dan pemahaman yang
benar terhadap KBK, sehingga KBK dapat diimplementasikan sebagai upaya peningkatan
mutu pendidikan secara efisien dan efektif.
Perihal kompetensi berkembang berbagai konsep, dan masing-masing konsep
dibangun sendiri-sendiri oleh pengguna konsep tersebut (Chappell,1996). Proponen PBK
berpandangan bahwa pendekatan kompetensi merupakan suatu cara terbaik untuk
meningkatkan kompetensi (bandingkan: seperangkat tindakan cerdas) yang sejalan
dengan persyaratan di situs kerja tertentu. PBK sifatnya sangat individualis, menekankan
pada outcomes (apa yang diketahui dan apa yang dapat dilakukan), dan prosedurnya
sangat fleksibel (Harris, dkk.,1995). Pendekatan kompetensi memperjelas bagaimana
outcomes dapat dicapai dengan mutu pencapaian menurut standar nasional maupun
internasional. Secara teoritis, PBK meniadakan pembedaan antara ‘tangan dan pikiran’,
teori dan praktek, umum dan spesifik dalam pendidikan (Harris,dkk.,1995). Bagi yang
tidak sejalan (opponents) dengan PBK, mereka menyebutnya PBK sebagai sesuatu yang
sangat reduksionistik, sempit, kaku, teoretis, empiris, dan pedagogis yang sangat tidak
memadai (Chappell, 1996; Hyland, 1994).
Tetapi, ke dua belah pihak tampaknya setuju bila kompetensi tersebut
dikonsepsikan ke dalam bentuk perilaku (behavioral terms) (cf.Anderson dan
Krathwohl,2001). Menurut kerangka pikir behaviorisme, kompetensi lebih mudah diurai
menjadi perilaku (performance) dalam bidang tugas yang sangat terpisah dan dianalisis
secara fungsional menurut peran tugasnya. Analisis demikian sangat tepat dijadikan dasar
untuk merumuskan kompetensi dan alat ukur yang akan digunakan untuk pencapaian
sebuah kompetensi.
KBK merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan
hasil belajar yang harus dicapai siswa, prosedur penilaian, kegiatan belajar-mengajar, dan
pemberdayaan sumber daya pendidikan. KBK berorientasi pada pencapaian hasil
(output-oriented) yang dirumuskan dalam bentuk kompetensi. KBK bertitik tolak dari
4
kompetensi yang harus dimiliki siswa. Penerapan KBK berorientasi pada pemebalajaran
tuntas (mastery learning), dan kurikulumnya bersifat holistik dan menyeluruh. KBK
sangat menekankan diversifikasi, yakni sekolah dapat mengembangkan, menyusun,
mengevaluasi silabus berdasarkan standar kompetensi yang telah ditetapkan secara
nasional (Depdiknas,2000f:1; Sidi, 2001:8).
Ranah kompetensi yang terdapat dalam KBK, antara lain: kompetensi akademik
(academic competency), kompetensi kehidupan (life competency), dan kompetensi
karakter nasional (national character competency). Untuk mencapai kompetensi tersebut,
maka pembelajaran ditekankan pada bagaimana siswa belajar tentang belajar (learning
how to learn), bukan pada apa yang harus dipelajari oleh siswa (learning what to be
learnt).
II. MITOS ATAU REALITA?
Apakah KBK sebuah mitos? Apakah KBK memberi peluang untuk tercapainya
pembangunan dan perbaikan mutu pendidikan secara teoretis? Terhadap pertanyaan ini,
sebaiknya kritik yang disampaikan oleh para penentang (oponent) KBK perlu
dikemukakan secara rinci.
Pertama, pendekatan KBK yang sangat behavioral sering dicerca karena tidak
memperhatikan hubungan antara tugas, atribut yang melandasi sebuah perilaku, makna,
kemauan, atau disposisi sebuah perilaku atau tindakan, konteks dari perilaku, dan dampak
aspek interpersonal dan etis (Gonczi, 1997; Hayland, 1994). Mengingat sifat dunia nyata
sangat kompleks dan tidak menentu, ditengarai bahwa tujuan-tujuan yang dirumuskan
dalam bentuk perilaku-perilaku terukur tidak dapat sepenuhnya diukur dan diamati
sepenuhnya. Rumusan-rumusan perilaku cenderung bersifat diskrit, sehingga ditengarai
sebagai sebuah upaya mengatomisasi perilaku yang sebenarnya bersifat holistik dan utuh
(intact behaviors) (Jackson, 1994:139). Lagipula, perilaku yang diklaim telah diukur
dianggap sebagai sebuah perilaku akhir (ultimate behavior), walau sesungguhnya
menurut pandangan Konstruktivis bahwa perilaku tersebut bukanlah yang final, tetapi ia
akan direvisi, dikonstruksi ulang, atau diubah menjadi sesuatu yang lebih sempurna
(Hodkinson dan Issitt, 1995; Hayland, 1994).
5
Kedua, Collins (1993:89) menyebutkan bahwa KBK mengingkari hasil penelitian
yang pernah dilakukan selama 100 tahun di bidang psikologi, pendidikan, organisasi,
maupun dalam bidang kebudayaan. Khususnya, ia tidak sependapat dengan batasan yang
digunakan oleh penganut aliran behaviorisme tentang skill dan competence sebagai
sebuah perilaku yang bersifat sangat individual dan bebas tata nilai. Padahal, skill dan
competence kenyataannya merupakan sebuah konstruksi sosial dan praktek kebudayaan
yang aktif dan kreatif (Collins, 1993; Harris, dkk.,1995). Lebih-lebih lagi, validitas teknik
pengukuran yang didasarkan pada model pembelajaran secara behavioristik sangat
problematik sebagai indikator model pembelajaran yang signifikan (Barry dan Pace,
1997:340).
Ketiga, model pengecekan terhadap pemerolehan kompetensi berdasarkan pada
teknik checklist yang menandai dicapai/tidaknya dicapainya kompetensi dimaksud
dipandang sangat menyederhanakan sebuah persoalan yang sesungguhnya sangat
kompleks. Penilaian terhadap pencapaian sebuah kompetensi yang didasarkan pada
pencapaian kompetensi minimum sangat tidak memotivasi seseorang untuk mencapai
kompetensi standar. Kompetensi minimum hanyalah merupakan tingkatan perilaku yang
dapat diterima (acceptable level of competency), bukan berarti kompetensi minimum
telah berkesesuaian dengan kompetensi standar yang ditetapkan secara nasional maupun
secara internasional (a standard of excellence).
Keempat, Jackson (1994) menilai bahwa KBK bersikap sangat birokratis, terlalu
rumit, mahal, dan membutuhkan waktu yang banyak untuk mengimplementasikan di
sekolah. Adi (2003) menyimpulkan bahwa guru-guru SMU bidang IPS di Propinsi Bali
belum sepenuhnya memiliki kesiapan dalam mengimplementasikan KBK. Hayland
(1996) dalam penelitian menyimpulkan bahwa banyak sekolah atau lembaga pendidikan
di dunia yang tidak bersedia mengimplementasikan KBK.
Kelima, kendatipun pendekatan kompetensi bersifat kompatibel dengan model
pembelajaran kognitif, tetapi KBK tidak cocok diterapkan pada lembaga pendidikan
tinggi (Hayland, 1994:336), karena kompetensi terlalu dibatasi secara sempit (Toobey
dkk.,1995) dan justru kompetensi meniadakan keberadaan sebuah kurikulum serta
mempersempit materi (Jackson,1994; Hayland,1994).
6
Dapat disimpulkan dari lima kritik terhadap KBK di atas, bahwa KBK hanyalah
merupakan sebuah pendekatan dalam kebijakan (policy approach), sebuah mitos dalam
pendidikan, yang masih perlu dikaji secara intensif sebelum diimplementasikan.
Apakah KBK sebuah realita pendidikan? Apakah KBK memberi peluang untuk
tercapainya pembangunan dan perbaikan mutu pendidikan secara empiris? Terhadap
pertanyaan ini, sebaiknya dukungan yang disampaikan oleh para pendukung (proponent)
KBK perlu dikemukakan di sini.
Pertama, Erridge dan Perry (1994:140) yakin bahwa “… it gives individuals
opportunities to achieve qualifications that relate to required performance in the
workplace…”. Bagi keduanya KBK diyakini memberi peluang bagi seseorang untuk
mencapai kualifikasi yang dibutuhkan. KBK diyakini merupakan sebuah rencana dan
pengaturan tentang kompetensi dan pemberdayaan sumberdaya secara efesien dan efektif
(Depdiknas,2000f:1). KBK diyakini dapat memberikan layanan terhadap peserta didik
sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimilikinya. Dengan demikian, KBK
bukannya menghasilkan lulusan yang memiliki pengetahuan sebanyak-banyaknya,
melainkan lulusan yang memiliki kemampuan dan sikap untuk meningkatkan
kehidupannya di masyarakat (Depdiknas,2002b:8-9).
Kedua, Jones dan Moore (1995) berpendapat bahwa KBK menerapkan
pendekatan kompetensi tunggal (one competency-based approach), yang dapat dengan
mudah dispesifikasi menjadi perilaku-perilaku terukur menurut bidang tugas dan
garapannya.
Ketiga, penetapan kompetensi standar akan memberdayakan individu, sehingga
individu tersebut akan mampu melakukan pilihan di antara apa yang harus dipelajari
(learning what to be learned) dan bagaimana harus belajar (learning how to learn). Velde
dan Hopkins (1994) bahkan menambahkan bahwa dalam KBK “…there is less control
from bureaucratic power-holders and more decision making made by consumers
themselves”. Jadi KBK memberikan kesempatan cukup luas kepada siswa untuk
mencapai kompetensi yang diharapkan sesuai dengan kemampuan dan potensinya
masing-masing. Fleksibilitas pembelajaran dijamin bila menggunakan KBK. Perangkat
KBK bukan lagi menjadi kewenangan pusat melainkan kewenangan daerah sesuai
dengan kondisi dan potensi masing-masing. KBK memberi peluang yang amat besar dan
7
fleksibel bagi guru/sekolah/daerah untuk mengembangkan potensinya masing-masing
sesuai dengan kebutuhan dan daya dukung masing-masing.
Keempat, target perilaku yang ingin disasar dirumuskan secara jelas untuk setiap
jenjang dan jenis kompetensi. Komponen kompetensi dasar, materi standar, dan indikator
pencapaian hasil belajar ditetapkan dan disajikan secara terpadu. Materi-materi yang
dibentuk diarahkan pada pencapaian sebuah kompetensi. Materi-materi pelajaran tidak
dimaksudkan untuk dihafal melainkan harus diperagakan dan didemonstrasikan agar
tercapai kompetensi dimaksud.
Kelima,guru diberi kesempatan yang luas untuk berkreasi dan mengembangkan
materi-materi pokok secara kreatif agar kompetensi yang ditetapkan sebelumnya terjamin
dapat tercapai oleh siswa. Empat pilar UNESCO, yaitu : learning to know, learning to
do, learning to be, dan learning to live together diakomodasikan secara integratif dan
proporsional dalam pembelajaran siswa. Aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik
diperlakukan sebagai sebuah perilaku yang utuh yang melandasi sebuah kompetensi.
Model pembelajaran berorientasi pada siswa (student-oriented learning). Disamping itu,
kecakapan bekal hidup diakomodasi dalam pembelajaran secara terpadu.
Keenam, sistem pembelajaran tuntas benar-benar diterapkan. Seorang siswa dapat
meneruskan ke jenjang kompetensi yang berikutnya bila ia sudah mencapai kompetensi
sebelumnya sesuai dengan batas kompetensi minimum. Sistem manajemen peningkatan
mutu dilakukan berdasarkan pada manajemen berbasis sekolah dan mengglang partisipasi
aktif dari semua stakeholders yang potensial.
Ketujuh, sistem penilaian yang digunakan bersifat berkelanjutan, yaitu mengacu
pada keberlangsungan proses dan sistem penilaian berbasis kelas (classroom-based
assessment), yang dapat berbentuk tes uraian, porto folio, atau tugas.
Kedelapan, KBK menerapkan sebuah kurikulum berdiversifikasi, yaitu dengan
mengklasifikasi siswa yang berkemampuan normal, sedang atau tinggi. Siswa yang
berkemampuan normal dituntut sebatas memiliki kompetensi minimum, sedangkan siswa
yang memiliki kemampuan tinggi dituntut untuk mencapai kompetensi standar. Guru
diberikan kebebasan untuk menetapkan materi yang cocok untuk siswanya. Dengan
kebebasan tersebut, guru memiliki peluang yang cukup tinggi untuk mengembangkan
materi-materi yang memiliki karakteristik lokal.
8
Dapat disimpulkan dari ke delapan dukungan positif terhadap KBK di atas,
bahwa KBK bukan saja sebuah pendekatan dalam kebijakan (policy approach), tetapi
KBK dapat direalisasikan dalam pembelajaran di sekolah untuk mengembangkan
kompetensi standar.
III. PENDIDIKAN BERBASIS KOMPETENSI
Dewasa ini, beberapa kalangan berpandangan bahwa pendidikan berbasis
kompetensi (selanjutnya: PBK) merupakan jawaban jitu terhadap permasalahan mutu
pendidikan. Sedangkan kalangan yang lain berpandangan bahwa PBK merupakan
jawaban yang keliru (Harris dkk.,1995). Awalnya, PBK menuai popularitas di Amerika
Serikat pada tahun tujuh-puluhan sebagai dasar untuk pendidikan vokasional bagi tenaga
kependidikan. PBK juga sangat berkembang di Inggris dan Wales pada awal tahun 1986.
Popularitas PBK cepat merambah Selandia Baru, Australia, dan Indonesia pada sekitar
paruh akhir dari tahun delapan-puluhan. Di satu sisi PBK menuai popularitas, namun di
sisi lain PBK tidak terlepas dari sasaran kritik yang amat pedas. Perdebatan sengit tentang
dampak PBK terjadi di Australia dan Inggris (Chappel, 1996; Ecclestone, 1997; Hyland,
1994).
Perihal kompetensi berkembang berbagai konsep, dan masing-masing konsep
dibangun sendiri-sendiri oleh pengguna konsep tersebut (Chappell,1996). Proponen PBK
berpandangan bahwa pendekatan kompetensi merupakan suatu cara terbaik untuk
meningkatkan kompetensi yang sejalan dengan persyaratan di situs kerja tertentu. PBK
sifatnya sangat individualis, menekankan pada outcomes (apa yang diketahui dan apa
yang dapat dilakukan), dan prosedurnya sangat fleksibel (Harris, dkk.,1995). Pendekatan
kompetensi memperjelas bagaimana outcomes dapat dicapai dengan mutu pencapaian
menurut standar nasional maupun internasional. Secara teoritis, PBK meniadakan
pembedaan antara ‘tangan dan pikiran’, teori dan praktek, umum dan spesifik dalam
pendidikan (Harris,dkk.,1995). Bagi yang tidak sejalan (opponents) dengan PBK, mereka
menyebutnya PBK sebagai sesuatu yang sangat reduksionistik, sempit, kaku, teoretis,
empiris, dan pedagogis yang sangat tidak memadai (Chappell, 1996; Hyland, 1994).
Tetapi, ke dua belah pihak tampaknya setuju bila kompetensi tersebut
dikonsepsikan ke dalam bentuk perilaku (cf.Anderson dan Krathwohl,2001). Menurut
9
kerangka pikir behaviorisme, kompetensi lebih mudah diurai menjadi perilaku dalam
bidang tugas yang sangat terpisah dan dianalisis secara fungsional menurut peran
tugasnya. Analisis demikian sangat tepat dijadikan dasar untuk merumuskan kompetensi
dan alat ukur yang akan digunakan untuk pencapaian sebuah kompetensi.
KBK merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan
hasil belajar yang harus dicapai pebelajar (learner), prosedur penilaian, kegiatan belajarmengajar,
dan pemberdayaan sumber daya pendidikan. KBK berorientasi pada
pencapaian hasil yang dirumuskan dalam bentuk kompetensi. KBK bertitik tolak dari
kompetensi yang harus dimiliki pebelajar. Penerapan KBK berorientasi pada
pembelajaran tuntas, dan kurikulumnya bersifat holistik dan menyeluruh. KBK sangat
menekankan diversifikasi, yakni lembaga pendidikan dapat mengembangkan, menyusun,
mengevaluasi silabus berdasarkan standar kompetensi yang telah ditetapkan secara
nasional (Depdiknas,2000f:1; Sidi, 2001:8). Ranah kompetensi yang terdapat dalam
KBK, antara lain: kompetensi akademik, kompetensi kehidupan, dan kompetensi karakter
nasional. Untuk mencapai kompetensi tersebut, maka pembelajaran ditekankan pada
bagaimana pebelajar belajar tentang belajar, bukan pada apa yang harus dipelajari oleh
pebelajar.
IV. KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI
Pengertian
Secara umum kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai
dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Sedangkan Kurkikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang
kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai pebelajar, penilaian, kegiatan belajar
mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum
sekolah (Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas, 2002:3). Kerangka dasar KBK dapat
digambarkan sebagai berikut.
10
A. Kompetensi Utama
Mengacu pada kompetensi yang dikembangkan Anderson dan Krathwhol (2001:ii),
maka Kompetensi Utama dapat dikelompok menjadi 4 (empat) gugus, yaitu: 1) factual
knowledge, 2) conceptual knowledge, 3) procedural knowledge, dan 4) metacognitive
knowledge. Factual knowledge menyangkut pengetahuan tentang fitur-fitur dasar yang
harus diketahui oleh pebelajar dalam sebuah disiplin keilmuan dan dapat digunakan
dalam memecahkan masalah. Jenis kompetensi ini terdiri dari dua, yaitu: pengetahuan
tentang terminologi, dan 2) pengetahuan tentang detil spesifik (specific details) dan fiturfitur
dasar (basic elements). Conceptual knowledge meliputi kompetensi yang
menunjukkan pemahaman tata hubungan antar fitur dasar dalam suatu struktur yang lebih
luas dan yang memungkinkan berfungsinya fitur-fitur tersebut. Termasuk ke dalam
kompetensi ini adalah:1) pengetahuan tentang klasifikasi dan kategori, 2) pengetahuan
tentang prinsi-prinsip kerja dan generalisasinya, 3) pengetahuan tentang teori, model,
paradigma dan struktur dasar.
Procedural knowledge meliputi pengetahuan dan pemahaman bagaimana melakukan
sesuatu (technical know how), metode inkuiri, dan kriteria dalam menggunakan
keterampilan, algotima, teknik, dan metode. Termasuk dalam kompetensi ini, yaitu: 1)
11
KURIKULUM
BERBASIS
KOMPETENSI
KURIKULUM
DAN HASIL
BELAJAR
PENILAIAN
BERBASIS
KELAS
PENGELOLAAN
KURIKULUM
BERBASIS
SEKOLAH
KEGIATAN
BELAJAR
MENGAJAR
pengetahuan tentang keterampilan khusus (subject-specific skills) dan perhitunganperhitungan
(algorithm), 2) pengetahuan tentang teknik dan metode khusus (subjectspecific
techniques and methods), 3) pengetahuan tentang kriteria penggunaan sebuah
prosedur yang tepat. Dan, metacognitive knowledge merupakan kompetensi yang
menyangkut tentang pengetahuan terhadap kognisi secara umum dan kesadaran serta
memahami kognisi diri sendiri. Kompetensi ini meliputi 3 hal, yaitu: 1) pengetahuan
strategis, 2) pengetahuan tentang tugas-tugas kognitif, termasuk pengetahuan tentang
kontekstualitas dan kondisi khusus, dan 3) pengetahuan tentang diri sendiri.
Ke-empat gugus kompetensi utama tersebut perlu dijembatani dengan lima unsur
pokok yang diamanatkan dalam Kepmen 045/U/2002, yaitu: Pengembangan kepribadian
(MK), pengembangan keahlian dan keterampilan (MKK), pengemabngan keahlian
berkarya (MKB), pengembangan perilaku berkarya (PPB), dan pengembangan
berkehidupan bermasyarakat (PBB). Bila unsur-unsur kompetensi utama ini diwujudkan
ke dalam sebuah matrik, maka akan tampak sebagai berikut.
Tabel 01. Matrik Kompetensi
Gugus
Kompetensi
Unsur
Kompetensi
Factual
knowledge
Conceptual
knowledge
Procedural
knowledge
Metacogntive
knowledge
Pengembangan Kepribadian X X X
Pengembangan Keilmuan dan Keterampilan X X
Pengembangan Keahlian Berkarya X X
Pengembangan Perilaku Berkarya X X
Pengembangan Berkehidupan Bermasyarakat X X X
Keterangan: X – persilangan antar gugus dan unsur yang perlu dikembangkan sebagai
kompetensi utama.(Hanya contoh!!)
V. ASESMEN BERBASIS KOMPETENSI
Selama dekade terakhir, ada kecendrungan untuk mencari alternatif terhadap jenis
asesmen tradisional dalam bidang pendidikan. Setidaknya ada 3 faktor yang berkontribusi
terhadap perlunya mengadakan perubahan dalam bidang asesmen, yaitu 1) adanya
12
perubahan hakekat tujuan pendidikan, 2) hubungan antara asesmen dengan proses belajar
dan mengajar dan 3) keterbatasan metode asesmen ( Marzano, dkk, 1993 : 9-12)
Didengungkannya kurikulum berbasis kompetensi (KBK) belakangan ini
menunjukkan adanya perubahan terhadap fokus tujuan pendidikan untuk lebih memacu
kompetensi peserta didik untuk mampu berpikir kreatif, mengambil keputusan,
memecahkan masalah dan mampu mengatur diri sendiri (self management) sehingga bisa
mencapai life-long learning outcomes yaitu a self-directed learner, a collaborative
worker, a complex thinker, a quality producer dan community contributor. Dengan
adanya perubahan hakekat tujuan pendidikan tersebut, jenis asesmen standar yang
biasanya dipakai dalam bentuk tes objektif dianggap tidak cukup untuk tujuan pendidikan
seperti dipaparkan di atas. Kebanyakan tes standar menyuruh pebelajar untuk memilih
jawaban yang telah disediakan. Sangat jarang dikembangkan tes yang menuntut pebelajar
untuk mengaplikasikan suatu informasi, atau menyuruh pebelajar untuk menunjukkan
kemampuan melalui tingkat kognisi yang lebih tinggi. Keterbatasan inilah mendorong
perlunya untuk mencari alternatif baru dalam asesmen.
Faktor yang kedua yang berkontribusi terhadap perlunya alternatif dalam
Asesmen adalah hubungan antara asesmen dengan proses mengajar dan belajar. Teori
behavioristik dalam pengajaran mencirikan adanya akumulasi dari keterampilan yang
terpisah yang sering diwarnai dengan asesmen-asesmen yang dilakukan pada momen
tertentu saja yang sering diukur dengan jenis tes objektif. Pebelajar disuruh untuk
menyelesaikan tes pada waktu tertentu saja dan hasilnya sering dipakai untuk mengambil
keputusan penting apakah pebelajar boleh lulus satu mata kuliah atau tidak.
Proses belajar dan mengajar memiliki hubungan yang sangat erat, sehingga
apabila proses belajar terjadi secara holistik maka asesmen yang diberikan pun
semestinya dapat memberi informasi yang holistik kepada pembelajar. Jenis asesmen
yang diberikan hendaknya sesuai dengan apa yang telah diajarkan di kelas, tidak hanya
berdasarkan hasil paper-pencil test saja. Berdasarkan hal ini maka reformasi di bidang
asesmen perlu dilakukan.
Faktor ketiga adalah cara bagaimana data diambil dan dilaporkan. Para kritik
dibidang pendidikan menyatakan bahwa metode asesmen yang dilakukan selama ini tidak
memberikan masukan yang bermanfaat tentang penampilan pebelajar (learner). Jenis tes
13
tradisional seperti pilihan ganda tidak dapat memberikan informasi tentang kemajuan
pebelajar dalam hal apa yang telah dipelajari dan bagaimana pebelajar telah
mempelajarinya, dan tidak dapat mencerminkan aktivitas otentik yang terjadi selama
proses belajar mengajar di dalam kelas. Tes tradisional biasanya memberikan data
pebelajar dengan nilai tertentu misalnya C atau B yang hanya dilakukan berdasarkan satu
jenis tes saja. Apabila pembelajar (teacher) ingin meningkatkan pembelajaran, tidak
hanya mengukurnya, maka selayaknya mekanisme pencatatan dan pelaporan perlu
dicermati lagi.
Berdasarkan ke tiga faktor itulah kemudian, alternatif baru asesmen sangat perlu
dan mendesak untuk dilakukan sehingga diperkenalkanlah paradigma baru dalam
asesmen berbasis kompetensi yang dikenal dengan istilah asesmen otentik (authentic
assessment)
A. Definisi Asesmen Otentik
Istilah asesmen otentik atau asesmen berbasis kompetensi dipakai untuk
menjelaskan tentang bentuk asesmen yang beragam yang mencerminkan proses
pembelajaran pebelajar, kemampuan, motivasi dan sikap pebelajar terhadap aktivitas
pembelajaran yang relevan di kelas (O`Malley dan Pierce, 1996 : 4-5). Istilah authentic
assessment pertama kali dipopulerkan oleh Grant Wiggins (1989) yang mengandung ide
tentang asesmen terhadap pebelajar dalam mengaplikasikan pengetahuan dan
keterampilan dengan cara yang sama seperti yang mereka alami di dunia nyata di luar
kelas. Jenis asesmen otentik meliputi asesmen kinerja (performance assessment),
portofolio (portfolios) dan asesmen oleh pebelajar sendiri (student self-assessment).
Sesuai dengan permintaan Panitia Penyelenggara Semlok, maka pembahasan terhadap
asesmen otentik akan dibatasi hanya pada dua jenis asesmen yaitu: asesmen kinerja dan
asesmen oleh pebelajar sendiri.
1. Asesmen Kinerja (Performance Assessment)
Asesmen kinerja (Performance assessment) terdiri dari setiap bentuk asesmen
dimana pebelajar memberikan respon secara lisan maupun tertulis. Respon pebelajar
mungkin dielisitasi oleh pembelajar dalam konteks asesmen formal maupun informal atau
14
diobservasi selama proses pembelajaran di kelas maupun di luar kelas. Asesmen ini
memerlukan pebelajar untuk mampu melakukan tugas-tugas yang kompleks dan
signifikan untuk mengarahkan mereka mampu memecahkan masalah yang nyata dan
otentik di masyarakat. Contohnya adalah laporan lisan, sampel tulisan, projek individu
atau kelompok, pameran dan demontrasi.
Asesmen kinerja (Performance assessment) sering memerlukan penilaian
pembelajar terhadap respon pebelajar. Untuk membantu penilaian pembelajar lebih
akurat dan sahih, perlu dibuat skala penilaian (scoring scale) atau rubrik dimana skor
tertentu diasosiasikan dengan penampilan pebelajar. Kriteria untuk masing-masing
tingkat harus dideskripsikan dengan jelas tentang keterampilan dan aktivitas yang
semestinya dilakukan oleh pebelajar. Salah satu kriteria dari performance assessment
adalah kriteria penilaian diumumkan dan diperkenalkan lebih awal kepada pebelajar ,
sehingga pebelajar bisa menyiapkan diri dan menggunakan kriteria tersebut untuk menilai
dirinya sendiri.
2. Asesmen Diri (Self-Assessment)
Kunci kesuksesan penggunaan portofolio adalah adanya asesmen oleh diri
pebelajar sendiri. Asesmen yang efektif melibatkan pebelajar untuk diberikan kesempatan
untuk menilai diri mereka sendiri, melihat kemungkinan untuk refleksi diri. Pebelajar
perlu dukungan untuk memahami pentingnya asesmen oleh diri sendiri , menjadi
evaluator independen terhadap kemajuan mereka sendiri sesuai dengan tujuan
instruksional yang telah ditetapkan. Pembelajar harus belajar bagaimana mendukung
pebelajar dalam mengevaluasi diri mereka sendiri, tetapi perlu diingat bahwa asesmen
diri (self-assessment) adalah proses melalui mana pebelajar harus diarahkan. Asesmen
diri bukan tentang format atau checklist. Mengajar pebelajar untuk mengevalusi diri
sendiri dimulai dengan adanya kesadaran bahwa pebelajar mempelajari hal yang baru.
Oleh sebab itu mereka memerlukan kesempatan yang cukup untuk belajar dan
mengaplikasikan berbagai keterampilan dengan masukan yang diberikan oleh
pembelajar.
Agar pebelajar mampu mengukur diri mereka sendiri, mereka perlu melihat
contoh pekerjaan yang bagus dan memahami standar yang dipakai untuk menilai. Ini
15
berarti bahwa pembelajar harus bekerja bersama-sama pebelajar untuk menentukan
kriteria pekerjaan yang akan dinilai. Dengan melihat contoh pekerjaan yang dianggap
bagus, mereka bisa mengembangkan ide bagaimana suatu pekerjaan dievaluasi. Dalam
mengerjakan hal ini, pembelajar harus menyimpan semua pekerjaan pebelajar dari awal
sampai akhir.
Dari contoh pekerjaan yang bagus, pebelajar disuruh untuk mengidentifikasi
karakteristik model pekerjaan yang bisa dipakai contoh. Dengan mengidentifikasi hal ini,
pebelajar akan diarahkan untuk mampu membuat carta kriteria (criteria charts) yang
berisi tentang kriteria penting yang dijabarkan pebelajar dan sewaktu-waktu bisa
ditambahkan lagi. Carta ini bisa digantung di tembok dan bisa dilihat sewaktu-waktu
pada saat pekerjaan yang sama dikerjakan. Apabila pebelajar sudah memahami carta
yang mereka buat, mereka tidak perlu lagi merujuk pada carta yang tergantung ditembok.
Setelah pebelajar mampu membuat kriteria, maka mereka disuruh untuk
mengaplikasikan pada evaluasi terhadap pekerjaan mereka. Hal ini bisa dimulai dalam
kelompok kecil atau bekerja dengan seorang teman (a porfolio partner) Setelah itu
secara perlahan mereka diarahkan untuk mampu melakukan secara mandiri terhadap diri
mereka sendiri. Selama proses evaluasi pebelajar dibimbing untuk mampu menemukan
kelemahan dan kebaikan dari masing-masing sampel pekerjaan mereka dengan
demikian mereka bisa menentukan tujuan peningkatan pekerjaan mereka sendiri.
VI. PEMBELAJARAN
Sebelum membahas secara khusus metode pembelajaran berbasis kompetensi,
maka perlu diketahui adanya perbedaan istilah dalam pembelajaran. Ketiga istilah
tersebut, yaitu: pendekatan (approach), metode (methods), dan teknik (techniques).
Menurut Anthony (1985) bahwa pendekatan (approach) adalah seperangkat asusmsi
dasar tentang suatu entitas yang bersifat sebagai sebuah aksioma (a set of related
assumptions about a particular entity, and therefore; it is axiomatic in nature).
Pendekatan pembelajaran berkembang dari yang bersifat tradisional-konvensional
sampai ke pendekatan konstruktivistik.
16
Metode merupakan langkah-langkah pokok yang ditempuh untuk bisa mencapai
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (a general procedure to achieve the predetermined
goals). Sifat metode adalah prosedural yang harus konsisten dengan
pendekatan yang telah ditentukan sebelumnya. Sedangkan teknik merupakan cara khusus
(special tricksto implement the chosen approach and methodsin order to achieve the predetermined
goals as efficiently and effectively as possible) untuk mengimplementasikan
pendekatan dan metode, sehingga tujuan tercapai dengan optimal.
Dengan pemahaman makna pendekatan-metode-dan-teknik tersebut, maka yang
penting diperhatikan adalah bagaimana sebaiknya pengalaman belajar (learning
experiences) dapat disajikan kepada mahasiswa, sehingga kompetensi standar (standard
competency) dan kompetensi dasar (basic competency) dapat dicapai secara maksimal.
Untuk mencapai suatu kompetensi tidak ada hanya satu pendekatan, metode, atau teknik
yang merupakan obat mujarab (penacea). Umumnya, pendekatan, metode, dan teknik
pembelajaran bersifat eklektik (ecclecticism).
Ada rumus pembelajaran yang bersifat generik, yaitu: pembelajaran harus
mencirikan suatu model:P-A-I-K-E-M. PAIKEM merupakan model pembelajaran aktif,
inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Pada intinya pembelajaran harus mendorong
mahasiswa agar terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Keterlibatannya dalam
pembelajaran haruslah bersifat mental. Seluruh komponen mental mahasiswa harus
dicurahkan dalam pembelajaran.
Inovasi dalam pembelajaran merupakan upaya-upaya yang segar dan baru yang
mendorong terciptanya suasana kondusif dan kreatif dalam pembelajaran. Dengan
kondusivitas atmosfir pembelajaran, maka pembelajaran yang mendidik dapat
terselenggara secara efisien dan efektif. Pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif
akan menjadikan pembelajaran itu sendiri sebagai suatu upaya mendidik yang
menyenangkan bagi mahasiswa dan dosen. Dengan model PAIKEM tersebut, maka
kompetensi-kompetensi utama, penunjang, dan lainnya yang gayut dengan kompetensi
utama akan dapat tercapai dengan semaksimal mungkin.
17
VII. PENUTUP
Kompetensi merupakan sebuah konsep yang masih diperdebatkan kebenarannya.
Secara teoritis, KBK memiliki kelemahan dan kendala seperti yang diajukan oleh para
penentang (oponent) KBK di atas. Secara teoretik, KBK mengandung kelemahan
konseptual, antara lain: memandang sebuah kompetensi sebagai sebuah entitas yang
bersifat tunggal, padahal kompetensi merupakan “…a complex combination of
knowledge, attitudes, skills, and values displayed in the context of task performance.”
(Gonczi,1997), sistem pengukuran perilaku yang menggunakan paradigma behaviorisme
ditengarai tidak mampu mengukur sesuatu perilaku yang dihasilkan dari pembelajaran
bermakna (significant learning) (Barrie dan Pace,1997), dan kendala yang dihadapi
dalam mengimplementasikan KBK adalah waktu, biaya dan tenaga yang banyak.
Terlepas dari kelemahan (internal) dan kendala (eksternal) tersebut, KBK merupakan
sebuah pendekatan dalam pengambilan kebijakan dalam pendidikan. Maka dari itu,
prinsip dasar yang harus digunakan untuk menjadikan KBK sebuah realita dalam
pendidikan nasional kita, bukan sebuah mitos, adalah dengan mengubah kelemahan
(weaknesses) dan kendala (threats) menjadi sebuah kekuatan (strengths) dan peluang
(opportunities).
18



PELAYANAN PROFESIONAL
KURIKULUM 2004
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
Jakarta, 2003
KURIKULUM
BERBASIS KOMPETENSI
2
Katalog dalam Terbitan
Indonesia. Pusat Kurikulum, Badan Penelitian
dan Pengembangan
Departemen Pendidikan Nasional
Pelayanan Profesional Kurikulum 2004
Kurikulum Berbasis Kompetensi, - Jakarta:
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas: 2003
iv, 20 hal.
3
KATA PENGANTAR
Perubahan dan perkembangan aspek kehidupan perlu direspon oleh kinerja
pendidikan yang profesional dan bermutu tinggi. Mutu pendidikan yang
demikian itu sangat diperlukan untuk mendukung terciptanya manusia yang
cerdas dan berkehidupan yang damai, terbuka, dan berdemokrasi, serta
mampu bersaing secara terbuka di era global sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan seluruh warga negara Indonesia. Dalam pada itu, kinerja
pendidikan menuntut adanya pembenahan dan penyempurnaan terhadap
aspek substantif yang mendukungnya, yakni kurikulum.
Pusat kurikulum Balitbang Depdiknas telah menyiapkan seperangkat
kurikulum yang disebut dengan “Kurikulum 2004”. Sebelum kurikulum
ini diberlakukan secara nasional telah dilakukan rintisan pelaksanaan (pilot
mini) di beberapa sekolah kemudian dilanjutkan dengan perluasan rintisan
pelaksanaan di sejumlah sekolah yang lebih banyak. Rintisan dan perluasan
rintisan ini bertujuan untuk mendapatkan masukan tentang kekuatan dan
kelemahan perangkat yang telah disusun sebagai bahan penyempurnaan.
Perangkat kurikulum 2004 terdiri atas Kerangka Dasar, Standar Kompetensi
Bahan Kajian, dan Standar Kompetensi Mata Pelajaran. Perangkat Kurikulum
2004 juga didukung oleh perangkat layanan profesional yang terdiri atas
(1) Pemahaman terhadap Kurikulum 2004, (2) Model Sistem Penyampaian
Kurikulum, (3) Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif, (4) Pengelolaan
Kurikulum di Tingkat Sekolah, (5) Model Pelatihan dan Pengembangan
Silabus.
Dalam percaturan global, terutama perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi” Indonesia sebagai bagian kehidupan bangsa di dunia harus
senantiasa berupaya mengimbangi kemajuan tersebut. Bila tidak demikian
bangsa Indonesia akan tertinggal dan bahkan terkucil dalam pergaulan
bangsa-bangsa di dunia. Salah satu contoh adalah hasil penelitian di Asia
tentang penyelenggaraan pendidikan di setiap negara. Ternyata hasil cukup
mengharukan bahwa Indonesia berada pada peringkat ke tigabelas setelah
Vietnam (Mendikbud, 2002). Bangsa Indonesia harus membangun diri untuk
bisa bersaing dalam banyak hal, karena itu peningkatan mutu sumber daya
manusia harus menjadi perioritas pertama.
Pembangunan yang dimaksud tentunya adalah pembangunan pendidikan
yang terencana dan berorientasi kepada kebutuhan generasi muda di masa
depan. Tantangan kehidupan di masa depan pada hakekatnya adalah
tantangan terhadap kompetensi yang dimiliki manusia. Karena itu arah
pengembangan kurikulum harus berbasis pada pengembangan potensi
manusia yang beragam. Perlu disadari bahwa manusia dilahirkan unik
dengan segala keberagaman dan kecepatannya. Karena itu kurikulum sebagai
acuan dan fasilitator penyelenggaraan pendidikan, sayogianya memberi
peluang adanya kemerdekaan dan pemerataan dalam pendidikan.
Berbagai kejadian dan peristiwa di tanah air Indonesia baik berupa:
eksploitasi pusat atas daerah, eksploitasi manusia atas manusia, penggunaan
jabatan yang sewenang-wenang serta jauh dari sumpah jabatan, perilaku
kekerasan di kalangan remaja, percaturan bisnis yang tak beretika, perilaku
politik yang tidak beretika, masalah mutu tenaga kerja dan sebagainya,
semuanya, itu harus menjadi inspirasi bagi pengembangan perinsip-perinsip
kurikulum.
Guru sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan yang cukup berperan
menentukan kualitas lulusan. Namun guru itu sendiri juga dalam dilema
permasalahan baik dari sudut kualitas maupun kesejahteraan. Karena itu
PENDAHULUAN 1
6
Kurikulum Berbasis Kompetensi
impelementasi kurikulum harus dapat menjembatani itu semua dalam rangka
menggapai kemajuan yang berbudaya tanpa ada yang dikorbankan,
Perangkat Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan resep instan terhadap
masa depan bangsa Indonesia di mata dunia, kondisi bangsa saat ini, kondisi
sekolah, kondisi guru, serta keberagaman anak didik dengan segala kecepatan
dan kelambanannya. Ini berarti bahwa implementasi kurikulum akan
membawa angin segar serta kegairahan bekerja kepada para pelaksana
pendidikan di sekolah.
7
PENGEMBANGAN KURIKULUM
BERBASIS KOMPETENSI 2
Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh
perubahan global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
seni dan budaya. Perubahan secara terus menerus ini menuntut perlunya
perbaikan sistem pendidikan nasional termasuk penyempurnaan kurikulum
untuk mewujudkan masyarakat yang mampu bersaing dan menyesuaikan
diri dengan perubahan zaman.
Untuk itu upaya peningkatan mutu pendidikan harus dilakukan secara
menyeluruh yang mencakup pengembangan dimensi manusia Indonesia
seutuhnya, yakni aspek-aspek moral, akhlaq, budi pekerti, pengetahuan,
keterampilan, seni, olah raga, dan perilaku. Pengembangan aspek-aspek
tersebut bermuara pada peningkatan dan pengembangan kecakapan hidup
(life skill) yang diwujudkan melalui pencapaian kompetensi peserta didik
untuk bertahan hidup, menyesuaikan diri, dan berhasil di masa datang.
dengan demikian peserta didik memiliki ketangguhan, kemandirian, dan
jati diri yang dikembangkan melalui pembelajaran dan atau pelatihan yang
dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan.
Penyempurnaan kurikulum untuk mewujudkan peserta didik yang
dimaksudkan itu telah diamanatkan dalam kebijakan-kebijakan nasional
sebagai berikut:
1. Perubahan keempat UUD 1945 Pasal31 tentang Pendidikan.
2. Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun 1999-2004.
3. Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional.
4. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah 5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Daerah sebagai Daerah Otonom, yang
antara lain menyatakan pusat berkewenangan dalam menentukan:
kompetensi siswa; kurikulum dan materi pokok; penilaian nasional;
dan kalender pendidikan.
5. Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1999 yang antara lain; perlu
8
Kurikulum Berbasis Kompetensi
dilakukan penyempurnaan sistem pendidikan; dan dilakukan
penyempurnaan kurikulum dan diversifikasi.
6. Gerakan peningkatan mutu pendidikan yang telah dicanangkan oleh
Presiden.
Menyadari bahwa upaya peningkatan mutu pendidikan selama ini belum
mencapai pada taraf yang memadai (critical mass) yang mampu meningkatkan
taraf kehidupan masyarakat pada umumnya.
Referensi mengenai mutu pendidikan perlu didudukkan secara utuh yang
mencakup dimensi manusia Indonesia seutuhnya, yakni dari segi moral,
akhlaq, akal, pengetahuan, keterampilan, dan amal perbuatan/perilaku.
Selama ini telah terjadi kecendrungan dalam memberikan makna mutu
pendidikan yang hanya dikaitkan dengan aspek kemampuan akademik dan
lebih khusus lagi hanya aspek kognitif. Pandangan ini telah membawa
dampak terabaikannya aspek-aspek moral, akhlaq, budi pekerti, seni dan
olah raga serta “life skill”.
Dengan pertimbangan tersebut maka dilakukan penyempurnaan kurikulum
dengan pendekatan berbasis kompetensi.
A. Perubahan
Kurikulum merupakan perangkat pendidikan yang dinamis, oleh karena
itu kurikulum juga harus peka dan sekaligus mampu merespon beragam
perubahan dan beragam tuntutan stakeholders yang menginginkan
adanya peningkatan kualitas pendidikan. Negara-negara berkembang
dan negara maju di hampir seluruh dunia sekarang ini tengah berupaya
meningkatkan kualitas pendidikannya dengan mengembangkan
Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Dengan adanya kecenderungan globalisasi dan keinginan untuk
menyesuaikan tuntutan kebutuhan serta aspirasi bangsa Indonesia di
masa depan akan membawa implikasi terhadap perubahan-perubahan
kebijakan, khususnya dalam bidang pendidikan.
9
Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi
Jika selama ini kebijakan pengembang pendidikan dilakukan secara
terpusat (sentralistik), di mana semua kebijakan mulai dari kurikulum
sampai pedoman pelaksanaan teknis ditangani oleh pusat. Maka, dengan
diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang
Otonomi Daerah yang kemudian diikuti oleh Peraturan Pemerintah No.
25 tahun 2002 tentang pembagian kewenangan antara pemerintah dan
kewenangan daerah.
B. Implikasi Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi
Adanya perubahan yang terjadi di masyarakat dan adanya tuntutan
globalisasi, telah menimbulkan beberapa implikasi dalam pengambilan
kebijakan terhadap pelaksanaan pendidikan, seperti :
1. Penetapan standar kompetensi peserta didik dan warga belajar.
2. Pengaturan kurikulum nasional.
3. Penilaian hasil belajar secara nasional.
4. Penyusunan pedoman pelaksanaan.
5. Penetapan standar materi pelajaran pokok, penetapan kalender
pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi
pendidikan dasar, menengah, dan luar sekolah.
UU No. 22 tahun 1999 dan pp No. 25 tahun 2000 berimplikasi terhadap
kebijaksanaan pengelolaan pendidikan dari yang bersifat sentralistik ke
desentralistik. Perubahan pengelolaan tersebut merupakan upaya
pemberdayaan daerah dan sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan
secara berkelanjutan, terarah dan menyeluruh. Wujud dari pelaksanaan
desentralisasi pendidikan dalam bidang kurikulum yaitu pembuatan
silabus yang dibuat oleh daerah dan sekolah.
10
IMPLEMENTASI KURIKULUM BERBASIS
KOMPETENSI 3
A. Koordinasi dan Legitimasi
Keberhasilan suatu inovasi pendidikan, khususnya inovasi dalam
pengenalan pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi sangat
bergantung pada seberapa jauh dimensi koordinasi dapat dilakukan
secara efektif dan komunikatif antar “stakeholder” yang terkait. Beberapa
stakeholder” yang terkait dalam pelaksanaan dan pelaksanaan
kurikulum itu meliputi :
• Lembaga Pendidikan Guru pra jabatan (pre-service trainning
institution) seperti LPTK, IKIP, Universitas, STKIP.
• Institusi Pembina Guru dalam jabatan (In-service Trainning Program)
seperti PPPG, BPG, Direktorat Dikdasmen, Dinas Pendidikan.
• Pusat Kurikulum Pusat Perbukuan
• Sekolah (guru & Kepala sekolah & Pengurus Yayasan) Orang tua
• Siswa
• Masyarakat seperti pemerhati pendidikan, Lembaga Swadaya
Masyarakat, parpol, organisasi non partisipan
• Dewan Pendidikan Komite Sekolah
• Perguruan Tinggi Kelompok Asosiasi
Prinsip dasar yang perlu diperhatikan dalam koordinasi adalah
“kesamaan visi” dan “kesamaan langkah” dalam memberikan bantuan
pada sekolah (guru dan kepala sekolah) sehingga sekolah tidak
kebingungan ketika akan memulai untuk menerapkan Kurikulum
Berbasis Kompetensi. Dalam kondisi ini, sekolah (guru dan Kepala
Sekolah) harus berada pada titik pusat “network” yang simpul-simpulnya
menyertakan “stakeholder” lain yang berkepentingan dengan sekolah
baik kepentingan pembinaan maupun kepentingan pemanfaatannya.
Beberapa ciri koordinasi efektif itu antara lain
• Semua keputusan“stakeholder” mengalir cepat ke “stakeholder” lain
yang ada dalam jaringan (network system)
11
Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi
• Semua kegiatan “stakeholder” untuk membina sekolah harus ada
dalam payung
• visi yang jelas dan telah disepakati bersama
• Satu masalah dalam simpul jaringan harus dirasakan dan dipecahkan
oleh semua “stakeholder” yang terkait
• Tersedianya laporan tertulis yang lengkap dan rinci oleh masingmasing
stakeholder
• Semua keputusan, kegiatan “stakeholder” tidak melemahkan
profesionalisme guru/kepala sekolah dan sekolah
Semua bentuk/gagasan pembinaan untuk sekolah perlu memenuhi
empat prinsip manajemen, yaitu P (Planning), O (Organizing), A
(Actuating), dan C (Controlling) Khusus yang berkaitan dengan
“legalisasi” pada penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi adalah
kepastian “kapan launching KBK dimulai” dan “bagaimana tahapantahapan
implementasinya” serta “apa strategi/pola desiminasinya”.
Semua ini telah ditetapkan dalam satu keputusan menteri. Penetapan
ini akan berimplikasi pada pola penyempurnaan pendidikan sekolah di
sekolah/perguruan tinggi seperti tentang sistem ujian akhir, sistem
penerimaan siswa/mahasiswa baru, mekanisme penyediaan dana, atau
pada mekanisme sosialisasi, baik sosialisasi dari tingkat pusat ke daerah
atau dari tingkat daerah ke sekolah.
B. Prinsip Implementasi
Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) telah berjalan
sejak tahun 2001 pada beberapa sekolah yang dijadikan mini pilot.
Impelementasi KBK merupakan salah satu bagian penting untuk
mendapatkan masukan dalam rangka penyempurnan KBK baik dari
aspek keterbacaan, keluasan, kedalaman, dan keterlaksanaannya di
lapangan.
Implementasi yang telah dilakukan tersebut meliputi beberapa prinsip
yaitu Kegiatan Belajar Mengajar (KBM); Penilaian Berbasis kelas; dan
Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah.
12
Kurikulum Berbasis Kompetensi
1) Penilaian Berbasis Kelas
Penilaian berbasis kelas merupakan suatu kegiatan pengumpulan
informasi tentang proses dan hasil belajar siswa yang dilakukan oleh
guru yang bersangkutan sehingga penilaian tersebut akan
“mengukur apa yang hendak diukur” dari siswa.
Salah satu prinsip penilaian berbasis kelas yaitu, penilaian dilakukan
oleh guru dan siswa. Hal ini perlu dilakukan bersama karena hanya
guru yang bersangkutan yang paling tahu tingkat pencapaian belajar
siswa yang diajarnya. Selain itu siswa yang telah diberitahu oleh
guru tersebut bentuk/cara penilaiannya akan berusaha meningkatkan
prestasinya sesuai dengan kemampuannya.
Prinsip penilaian berbasis kelas lainnya yaitu: tidak terpisahkan dari
KBM, menggunakan acuan patokan, menggunakan berbagai cara
penilaian (tes dan non tes), mencerminkan kompetensi siswa secara
komprehensif, berorientasi pada kompetensi, valid, adil, terbuka,
berkesinambungan, bermakna, dan mendidik.
Penilaian tersebut dilakukan antara lain meliputi: kumpulan kerja
siswa (portofolio), hasil karya (product), penugasan (project), unjuk
kerja (performance) dan tes tertulis (paper and pencil test).
Setelah melakukan serangkaian penilaian yang sesuai dengan
prinsip-prinsip di atas, maka orang tua siswa akan menerima
laporannya secara komunikatif dengan menitik beratkan pada
kompetensi yang telah dicapai oleh anaknya di sekolah.
2) Kegiatan Belajar Mengajar
Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) merupakan proses aktif bagi siswa
dan guru urituk mengembangkan potensi siswa sehingga mereka
akan “tahu” terhadap pengetahuan dan pada akhirnya “mampu”
untuk melakukan sesuatu.
Prinsip dasar KBM adalah memberdayakan semua potensi yang
13
Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi
dimiliki siswa sehingga mereka akan mampu meningkatkan
pemahamannya terhadap fakta/konsep/prinsip dalam kajian ilmu
yang dipelajarinya yang akan terlihat dalam kemampuannya untuk
berpikir logis, kritis, dan kreatif.
Prinsip dasar KBM lainnya yaitu: berpusat pada siswa,
mengembangkan kreativitas siswa, menciptakan kondisi
menyenangkan dan menantang, mengembangkan beragam
kemampuan yang bermuatan nilai, menyediakan pengalaman belajar
yang beragam dan belajar melalui berbuat.
Prinsip KBM di atas akan mencapai hasil yang maksimal dengan
memadukan berbagai metode dan teknik yang memungkinkan semua
indera digunakan sesuai dengan karakteristik masing-masing pelajaran.
3) Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah
Salah satu prinsip implementasi KBK adalah Pengelolaan Kurikulum
Berbasis Sekolah. Prinsip ini perlu diimplementasi untuk
memberdayakan daerah dan sekolah dalam merencanakan,
melaksanakan, dan mengelola serta menilai pembelajaran sesuai dengan
kondisi dan aspirasi mereka.
Prinsip Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah ini mengacu pada
“kesatuan dalam kebijaksanaan dan keberagaman dalam pelaksanaan”.
Yang dimaksud dengan “kesatuan dalam kebijaksanaan” ditandai
dengan sekolah-sekolah menggunakan perangkat. dokumen KBK yang
“sama” dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan
“Keberagaman dalam pelaksanaan” ditandai dengan keberagaman
silabus yang akan dikembangkan oleh sekolah masing-masing sesuai
dengan karakteristik sekolahnya.
Dengan adanya Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah ini maka
banyak pihak/instansi yang akan berperanan dan bertanggung jawab
dalam melaksanakannya, misalnya: sekolah, kepala sekolah, guru,
dinas pendidikan kebupaten atau kota, dinas pendidikan propinsi
dan DEPDIKNAS.
14
Kurikulum Berbasis Kompetensi
C. Implikasi Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi
Seperti telah di kemukakan di atas dengan prinsip keberagaman dalam
pelaksanaan maka setiap sekolah dan guru dilapangan mempunyai
tanggung jawab untuk menterjemahkan KBK dalam bentuk silabus yang
akan mereka gunakan dalam pembelajaran di dalam kelas.
Silabus yang dibuat oleh masing-masing sekolah dan guru tersebut disusun
berdasarkan karakteristik sekolahnya, baik dari aspek kemampuan sekolah,
kemampuan guru, kemampuan siswa, sarana/prasarana yang dimiliki
sekolah dan sebagainya Selain itu dalam menyusun silabus tidak ada “acuan”
baku mengenai format dan isinya sehingga guru diberi keleluasaan yang
besar untuk mengapresiasikan kemampuannya menerjemahkan KBK.
Dalam penyusunan silabus dapat dilakukan dengan melibatkan para
ahli atau instansi yang relevan di daerah setempat seperti tokoh
masyarakat, instansi pemerintah, komite sekolah, dewan pendidikan,
instansi swasta, perusahaan, perindustrian, dan sebagainya.
1) Acuan Penyusunan Pedoman Pengembangan Silabus bagi
Direktorat
Sesuai dengan tugas dan fungsinya, Direktorat Pendidikan Dasar
dan Menengah berkewajiban untuk menyusun pedoman
pengembangan silabus yang akan dijadikan acuan oleh guru-guru
dalam menyusun silabusnya. Adapun acuan penyusunan pedoman
pengembangan silabus tersebut yaitu:
(a) Mengkaji KBK dengan seksama untuk diterjemahkan dalam
bentuk silabus
(c) Mensosialisasikan silabus yang sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhan daerah masing-masing
(d) Memantau penyusunan dan implementasi silabus di tingkat
kabupaten/kota
2) Acuan Penyusunan Silabus Bagi Daerah/Sekolah
Silabus yang telah di tetapkan dan di sosialisasikan oleh Direktorat
15
Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi
diatas perlu untuk diterjemahkan lebih lanjut pada daerah/sekolah
masing-masing sesuai dengan tingkat kemampuannya.
Adapun acuan penyusunan silabus bagi daerah/sekolah sebagai berikut:
(a) Membuat rambu-rambu pengembangan silabus yang sesuai
dengan kebutuhan sekolahnya
(b) Membentuk tim pengembang silabus pada tingkat sekolahnya
masing-masing
(c) Memfasilitasi kebutuhan guru-guru dalam menyusun silabus
Pentahapan Pelaksanaan
1. Piloting
Sejak tahun anggaran 2000/2001 Pusat Kurikulum Balitbang
Diknas telah melakukan pengembangan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK). Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
dikembangkan oleh Pusat Kurikulum bekerjasama dengan para
ahli pendidikan dari perguruan tinggi dan guru. Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) merupakan penyempurnaan
terhadap kurikulum yang ada dengan mengakomodasikan
dinamika masyarakat terhadap kurikulum khususnya dan
pendidikan pada umumnya serta didasarkan pada kebijakan
peningkatan mutu pendidikan. Dari pengembangan kurikulum
tersebut diperoleh dokumen Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) untuk Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU).
Mulai tahun ajaran 2001/2002 Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) diimplementasikan secara terbatas dalam bentuk mini
piloting di beberapa daerah/sekolah. Daerah yang dijadikan mini
piloting yaitu Sidoarjo di Jawa Timur, Bandung di Jawa Barat,
Serang di Banten, Daerah Istimewa Yogyakarta dan di DKI
Jakarta. Sekolah yang dijadikan mini piloting harus memenuhi
kriteria yang telah ditetapkan oleh Pusat Kurikulum. Kriteria
sekolah tersebut antara lain:
1. Memiliki sumber daya manusia yang lengkap
2. Memiliki sarana pendidikan yang lengkap
16
Kurikulum Berbasis Kompetensi
3. Memiliki dana yang cukup
4. Memiliki nara sumber dari luar sekolah
Tujuan dari mini piloting ini untuk menguji-empiriskan
kebenaran dan kelemahan Kurikulum Berbasis Kompetensi
secara langsung baik dalam penyusunan silabus maupun dalam
pembelajarannya. Sedangkan dalam implementasi Kurikulum
Berbasis Kompetensi menggunakan dua pendekatan yaitu:
Pendekatan definitif dimana sejumlah sekolah tertentu
ditetapkan untuk melaksanakan kurikulum atas kesepakatan
antara pusat dengan daerah. Kedua pendekatan partisipatif
dimana daerah di luar mini piloting dapat mengambil inisiatif
untuk berpartisipasi dalam mengimplementasikan Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK).
Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di daerah
mini piloting dimulai kelas I dan IV di Sekolah Dasar (SD) serta
kelas I di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pada tahun
pelajaran 2002/2003 kelas I di Sekolah Menengah Atas (SMA).
Sedangkan implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) secara menyeluruh baik yang sudah dan akan
dilaksanakan di Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama
(SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dapat diketahui
berdasarkan rancangan pentahapan yang tertera dalam label di
bawah ini :
TAHUN
PELAJARAN
K E L A S
I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII
17
Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi
2) Sosialisasi dan Diseminasi Nasional
Sejalan dengan dihasilkannya Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) oleh Pusat Kurikulum Balitbang Diknas, maka mulai
Tahun pelajaran 2002/2003 telah : dilakukan sosialisasi
Kurikulum tersebut. Kegiatan Sosilisasi Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) dilakukan oleh Pusat Kurikulum Balitbang
Depdikiknas bekerjasama dengan Unit Utama lainnya yaitu
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah serta Dinas
Pendidikan Daerah.
Kegiatan sosialisasi ini dilakukan untuk menjelaskan perangkat
dokumen Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ke daerah/
sekolah di propinsi, kabupaten, kota dan kecamatan. Kegiatan
sosialisasi ini untuk menjelaskan mengenai perangkat dokumen
Kurikulum Berbasis Kompetensi antara lain:
1. Mengapa dilakukan penyempurnaan kurikulum ?
2. Mengapa Kurikulum Berbasis Kompetensi ?
3. Apakah Kurikulum Berbasis Kompetensi ?
4. Bagaimana komponen Kurikulum Berbasis Kompetensi ?
Kegiatan sosialisasi ini dilakukan dengan menggunakan berbagai
cara antara lain pelatihan/lokakarya, seminar, dan multimedia.
Pelatihan atau lokakarya dilakukan oleh Pusat Kurikulum
bekerjasama dengan instansi terkait baik di pusat maupun di
daerah dengan cara menatar atau membina guru untuk
menyusun silabus. Seminar dilakukan oleh Pusat Kurikulum
dengan instansi terkait untuk menjelaskan perangkat dokumen
Kurikulum Berbasis kompetensi kepada stakeholder Selain itu,
dalam kegiatan Sosialisasi Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK), Pusat Kurikulum memanfaatkan penggunaan teknologi
informasi yaitu : dengan membuat web site di situs internet.
Desiminasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK secara
nasional akan dilaksanakan tahun pelajaran 2004/2005.
18
A. Tujuan Evaluasi
Evaluasi pelaksanaan kurikulum bertujuan untuk mengukur seberapa
jauh penerapan kurikulum berstandar nasional dipakai sebagai pedoman
pengembangan dan pelaksanaan kurikulum di daerah/sekolah, sehingga
pelaksanaan kurikulum dapat dimengerti, dipahami, diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari dan dianalisa oleh peserta didik.
Evaluasi dilakukan pada setiap tahapan pelaksanaan pengembangan
kurikulum sebagai upaya untuk mengkaji ulang pelaksanaan kurikulum
pada setiap jenjang pendidikan.
Evaluasi untuk program pelaksanaan pengembangan kurikulum di
daerah memerlukan indikator keberhasilan sebagai tolak ukur
pencapaian pelaksanaan kurikulum. Indikator keberhasilan kurikulum
mencakup:
1. Indikator keberhasilan sosialisasi kurikulum
2. Indikator keberhasilan penyusunan silabus
3. Indikator keberhasilan penyusunan program tahunan dan semester
4. Indikator keberhasilan penyusunan rencana pembelajaran
5. Indikator keberhasilan penyusunan bahan ajar
6. Indikator keberhasilan pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar
B. Tahapan Evaluasi
Evaluasi pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi dilakukan oleh
Tim ahli dari tingkat Pusat, Propinsi, dan daerah/kabupaten. Evaluasi
ini dilakukan pada setiap tahap pelaksanaan untuk memperbaiki
program pengembangan kurikulum terhadap keberhasilan sosialisasi
kurikulum berstandar nasional, keberhasilan penyusunan silabus,
EVALUASI KURIKULUM BERBASIS
KOMPETENSI 4
19
Evaluasi Kurikulum Berbasis Kompetensi
keberhasilan penyusunan program tahunan dan semester, keberhasilan
penyusunan rencana pengajaran dan bahan ajar, serta keberhasilan dalam
kegiatan belajar mengajar. Evaluasi menggunakan indikator keberhasilan
pelaksanaan pengembangan kurikulum di daerah/sekolah dan selain itu
evaluasi juga dapat dilakukan melalui pentahapan, mulai dari tahun
pertama hingga tahun terakhir pelaksanaan kurikulum berstandar
nasional.
Evaluasi pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan
penilaian dalam penerapan kurikulum berstandar nasional yang
dikembangkan atau disusun berdasarkan kemampuan daerah/sekolah,
potensi daerah, dengan kekhasan/cirikhas daerah/sekolah. Prinsip
penilaian pengembangan kurikulum yang disesuaikan dengan daerah
masing-masing adalah penilaian terhadap relevansi, fleksibilitas,
kontinuitas, kepraktisan, dan efektivitasnya.
Evaluasi pelaksanaan kurikulum tidak hanya mengevaluasi hasil belajar
peserta didik dan proses pembelajarannya, tetapi juga rancangan dan
pelaksanaan kurikulum, kemampuan dan kemajuan siswa, sarana dan
prasarana, serta sumber belajarnya.
Hasil evaluasi pelaksanaan kurikulum dapat digunakan oleh pengambil
keputusan untuk menentukan kebijakan pendidikan pada tingkat
pusat,daerah dan sekolah untuk memperbaiki kekurangan yang ada dan
meningkatkan hasil yang lebih optimal. Hasil tersebut dapat juga
digunakan oleh Kepala Sekolah, Guru, dan pelaksanaan pendidikan di
daerah dalam memahami dan membantu meningkatkan kemampuan
siswa, memilih bahan pelajaran, memilih metode, dan perangkat
20
Kurikulum Berbasis Kompetensi ditujukan untuk menciptakan lulusan yang
kompeten untuk membangun kehidupan diri, masyarakat, bangsa, dan
negara. Kurikulum ini merupakan suatu sistem kurikulum nasional yang
mengakomodasikan berbagai kebutuhan tingkat nasional, daerah, dan
sekolah, serta dapat diperkaya untuk kepentingan global. Sebagai suatu
sistem, Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan standar kompetensi
nasional. Daerah dan sekolah menjabarkan standar tersebut ke dalam
seperangkat rencana dan pengaturan kegiatan, pengalaman belajar, materi
pembelajaran, alokasi waktu, pengelolaan kelas, media dan sumber belajar,
serta penilaian hasil belajar.
Keberhasilan pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi ditandai dengan
perwujudan kebiasan berpikir dan bertindak peserta didik dalam kehidupan
sehari-hari di keluarga, sekolah, dan di masyarakat. Kurikulum perlu dinilai
secara berencana dan berkala untuk mengetahui efektifitas dan efisiensi
dalam pelaksanaannnya. Berkenaan dengan hal tersebut, penilaian
kurikulum dilakukan oleh berbagai komponen yang relevan.
PENUTUP 

Materi slide ke 2
1) Penilaian Berbasis Kelas
Penilaian berbasis kelas merupakan suatu kegiatan pengumpulan
informasi tentang proses dan hasil belajar siswa yang dilakukan oleh
guru yang bersangkutan sehingga penilaian tersebut akan
“mengukur apa yang hendak diukur” dari siswa.
Salah satu prinsip penilaian berbasis kelas yaitu, penilaian dilakukan
oleh guru dan siswa. Hal ini perlu dilakukan bersama karena hanya
guru yang bersangkutan yang paling tahu tingkat pencapaian belajar
siswa yang diajarnya. Selain itu siswa yang telah diberitahu oleh
guru tersebut bentuk/cara penilaiannya akan berusaha meningkatkan
prestasinya sesuai dengan kemampuannya.
Prinsip penilaian berbasis kelas lainnya yaitu: tidak terpisahkan dari
KBM, menggunakan acuan patokan, menggunakan berbagai cara
penilaian (tes dan non tes), mencerminkan kompetensi siswa secara
komprehensif, berorientasi pada kompetensi, valid, adil, terbuka,
berkesinambungan, bermakna, dan mendidik.
Penilaian tersebut dilakukan antara lain meliputi: kumpulan kerja
siswa (portofolio), hasil karya (product), penugasan (project), unjuk
kerja (performance) dan tes tertulis (paper and pencil test).
Setelah melakukan serangkaian penilaian yang sesuai dengan
prinsip-prinsip di atas, maka orang tua siswa akan menerima
laporannya secara komunikatif dengan menitik beratkan pada
kompetensi yang telah dicapai oleh anaknya di sekolah.
2) Kegiatan Belajar Mengajar
Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) merupakan proses aktif bagi siswa
dan guru urituk mengembangkan potensi siswa sehingga mereka
akan “tahu” terhadap pengetahuan dan pada akhirnya “mampu”
untuk melakukan sesuatu.
Prinsip dasar KBM adalah memberdayakan semua potensi yang
dimiliki siswa sehingga mereka akan mampu meningkatkan
pemahamannya terhadap fakta/konsep/prinsip dalam kajian ilmu
yang dipelajarinya yang akan terlihat dalam kemampuannya untuk
berpikir logis, kritis, dan kreatif.
Prinsip dasar KBM lainnya yaitu: berpusat pada siswa,
mengembangkan kreativitas siswa, menciptakan kondisi
menyenangkan dan menantang, mengembangkan beragam
kemampuan yang bermuatan nilai, menyediakan pengalaman belajar
yang beragam dan belajar melalui berbuat.
Prinsip KBM di atas akan mencapai hasil yang maksimal dengan
memadukan berbagai metode dan teknik yang memungkinkan semua
indera digunakan sesuai dengan karakteristik masing-masing pelajaran.
3) Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah
Salah satu prinsip implementasi KBK adalah Pengelolaan Kurikulum
Berbasis Sekolah. Prinsip ini perlu diimplementasi untuk
memberdayakan daerah dan sekolah dalam merencanakan,
melaksanakan, dan mengelola serta menilai pembelajaran sesuai dengan
kondisi dan aspirasi mereka.
Prinsip Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah ini mengacu pada
“kesatuan dalam kebijaksanaan dan keberagaman dalam pelaksanaan”.
Yang dimaksud dengan “kesatuan dalam kebijaksanaan” ditandai
dengan sekolah-sekolah menggunakan perangkat. dokumen KBK yang
“sama” dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan
“Keberagaman dalam pelaksanaan” ditandai dengan keberagaman
silabus yang akan dikembangkan oleh sekolah masing-masing sesuai
dengan karakteristik sekolahnya.
Dengan adanya Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah ini maka
banyak pihak/instansi yang akan berperanan dan bertanggung jawab
dalam melaksanakannya, misalnya: sekolah, kepala sekolah, guru,
dinas pendidikan kebupaten atau kota, dinas pendidikan propinsi
dan DEPDIKNAS.


Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) merupakan proses aktif bagi siswa dan guru untuk mengembangkan potensi siswa sehingga mereka akan “tahu” terhadap pengetahuan dan pada akhirnya “mampu” untuk melakukan sesuatu.

Prinsip dasar KBM adalah memberdayakan semua potensi yang dimiliki siswa sehingga mereka akan mampu meningkatkan pemahamannya terhadap fakta/konsep/prinsip dalam kajian ilmu yang dipelajarinya yang akan terlihat dalam kemampuannya untuk berpikir logis, kritis, dan kreatif.

Prinsip dasar KBM lainnya yaitu: berpusat pada siswa, mengembangkan kreativitas siswa, menciptakan kondisi menyenangkan dan menantang, mengembangkan beragam kemampuan yang bermuatan nilai, menyediakan pengalaman belajar yang beragam dan belajar melalui berbuat.

Prinsip KBM di atas akan mencapai hasil yang maksimal dengan memadukan berbagai metode dan teknik yang memungkinkan semua indera digunakan sesuai dengan karakteristik masing-masing pelajaran



KBK
Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir d.an bertindak yang bersifat dinamis, berkembang, dan dapat diraih setiap waktu. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus-menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten,
dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap-sikap dasar dalam melakukan sesuatu. Kebiasaan berpikir dan bertindak itu didasari oleh budi pekerti luhur baik dalam kehidupan pribadi, sosial,kemasyarakatan, keber-agama-an, dan kehidupan berbangsa dan bernegara.


Gordon (1988 : 109) menjelaskan beberapa aspek atau ranah yang terkandung dalam konsep kompetensi sebagai berikut :

1. Pengetahuan (knowledge), yaitu kesadaran dalam bidang kognitif.
2. Pemahaman (understanding), yaitu kedalaman kognitif.
3. Kemampuan (skill), yaitu sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
4. Nilai (value), yaitu suatu standar perilaku yang diyakini dan secara psikologis telah menyatu dalam diri seseorang.
5. Sikap (attitude), yaitu perasaan (senang-tidak senang, suka-tidak suka) atau reaksi terhadap suatu rangsangan yang dating dari luar.
6. Minat (interest), yaitu kecenderungan seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan.

Berdasarkan pengertian kompetensi tersebut, KBK dapat diartikan sebagai suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performansi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu. KBK diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap dan minat peserta didik agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketepatan dan keberhasilan dengan penuh tanggung jawab.

KURIKULUM
Kurikulum adalah perangkat mata pelajaran yang diberikan oleh suatu lembaga penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta pelajaran dalam satu periode jenjang pendidikan. Penyusunan perangkat mata pelajaran ini disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan setiap jenjang pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut.
Lama waktu dalam satu kurikulum biasanya disesuaikan dengan maksud dan tujuan dari sistem pendidikan yang dilaksanakan. Kurikulum ini dimaksudkan untuk dapat mengarahkan pendidikan menuju arah dan tujuan yang dimaksudkan dalam kegiatan pembelajaran secara menyeluruh.
PERKEMBANGAN KURIKULUM INDONESIA
Awal kurikulum terbentuk pada tahun 1947, yang diberi nama Rentjana Pembelajaran 1947. Kurikulum ini pada saat itu meneruskan kurikulum yang sudah digunakan oleh Belanda karena pada saat itu masih dalam psoses perjuangan merebut kemerdekaan. Yang menjadi ciri utama kurikulum ini adalah lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia yang berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain.

Setelah rentjana pembelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum Indonesia mengalami penyempurnaan. Dengan berganti nama menjadi Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Yang menjadi ciri dalam kurikulum ini adalah setiap pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.

Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964 pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum pendidikan di Indonesia. Kali ini diberi nama dengan Rentjana pendidikan 1964. yang menjadi ciri dari kurikulum ini pembelajaran dipusatkan pada program pancawardhana yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional, kerigelan dan jasmani.

Kurikulum 1968 merupakan pemabaharuan dari kurikulum 1964. Yaitu perubahan struktur pendiddikan dari pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Pemabelajaran diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan serta pengembangan fisik yang sehat dan kuat

kurikulum 1975 sebagai pengganti kurikulum 1968 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. Metode materi dirinci pada Prosedur Pengembangan Sistem Instruksi (PPSI). Menurut Mudjito (dalam Dwitagama: 2008) Zaman ini dikenal dengan istilah satuan pelajaran yaitu pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan intruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi.

Kurikulum 1984 mengusung proses skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan itu penting. Kurikulum ini juga sering disebut dengan kurikulum 1975 yang disempurnakan. Posisi siswa ditempatkan sebgai subyek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan,hingga melaporkan. Model ini disebut dengan model Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).

Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses,” kata Mudjito menjelaskan (dalam Dwitagama: 2008).

Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak.

Terdapat ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya sebagai berikut:
Pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem catur wulan.
Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi).
Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga daerah yang khusus dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar.

Dalam pelaksanaan kegiatan, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial. Dalam mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen (terbuka, dimungkinkan lebih dari satu jawaban) dan penyelidikan.
Dalam pengajaran suatu mata pelajaran hendaknya disesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.
Pengajaran dari hal yang konkrit ke ha yang abstrak, dari hal yang mudah ke hal yang sulit dan dari hal yang sederhana ke hal yang kompleks.
Pengulangan-pengulangan materi yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk pemantapan pemahaman.

Selama dilaksanakannya kurikulum 1994 muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented), di antaranya sebagai berikut:
Beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/ substansi setiap mata pelajaran.
Materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari.

Permasalahan di atas saat berlangsungnya pelaksanaan kurikulum 1994. Hal ini mendorong para pembuat kebijakan untuk menyempurnakan kurikulum tersebut. Salah satu upaya penyempurnaan itu diberlakukannya suplemen kurikulum 1994. Penyempurnaan tersebut dilakukan dengan tetap mempertimbangkan prinsip penyempurnaan kurikulum, yaitu:
Penyempurnaan kurikulum secara terus menerus sebagai upaya menyesuaikan kurikulum dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan kebutuhan masyarakat.
Penyempurnaan kurikulum dilakukan untuk mendapatkan proporsi yang tepat antara tujuan yang ingin dicapai dengan beban belajar, potensi siswa, dan keadaan lingkungan serta sarana pendukungnya.

Penyempurnaan kurikulum dilakukan untuk memperoleh kebenaran substansi materi pelajaran dan kesesuaian dengan tingkat perkembangan siswa.
Penyempurnaan kurikulum mempertimbangkan brbagai aspek terkait, seperti tujuan materi pembelajaran, evaluasi dan sarana-prasarana termasuk buku pelajaran.
Penyempurnaan kurikulum tidak mempersulit guru dalam mengimplementasikannya dan tetap dapat menggunakan buku pelajaran dan sarana prasarana pendidikan lainnya yang tersedia di sekolah.

Penyempurnaan kurikulum 1994 di pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan bertahap, yaitu tahap penyempurnaan jangka pendek dan penyempurnaan jangka panjang. Implementasi pendidikan di sekolah mengacu pada seperangkat kurikulum. Salah satu bentuk invovasi yang dikembangkan pemerintah guna meningkatkan mutu pendidikan adalah melakukan inovasi di bidang kurikulum. Kurikulum 1994 disempurnakan lagi sebagai respon terhadap perubahan struktural dalam pemerintahan dari sentralistik menjadi disentralistik sebagai konsekuensi logis dilaksanakannya UU No. 22 dan 25 tentang otonomi daerah.

Pada era ini kurikulum yang dikembangkan diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). KBK adalah seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah (Depdiknas, 2002). Kurikulum ini menitik beratkan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performasi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap serangkat kompetensi tertentu. KBK diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap dan minat peserta didik, agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketepatan dan keberhasilan dengan penuh tanggungjawab.

Adapun karakteristik KBK menurut Depdiknas (2002) adalah sebagai berikut:
Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupu klasikal.
Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.

Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi. Kurikulum ini dikatakan sebagai perbaikan dari KBK yang diberi nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP ini merupakan bentuk implementasi dari UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu: (1)standar isi, (2)standar proses, (3)standar kompetensi lulusan, (4)standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5)standar sarana dan prasarana, (6)standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan (7)standar penilaian pendidikan.

Kurikulum dipahami sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu, maka dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, pemerintah telah menggiring pelaku pendidikan untuk mengimplementasikan kurikulum dalam bentuk kurikulum tingkat satuan pendidikan, yaitu kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di setiap satuan pendidikan.
Secara substansial, pemberlakuan (baca: penamaan) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) lebih kepada mengimplementasikan regulasi yang ada, yaitu PP No. 19/2005. Akan tetapi, esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi (dan bukan pada tuntas tidaknya sebuah subject matter), yaitu:
Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.

Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi. Terdapat perbedaan mendasar dibandingkan dengan KBK tahun 2004 dengan KBK tahun 2006 (versi KTSP), bahwa sekolah diberi kewenangan penuh dalam menyusun rencana pendidikannya dengan mengacu pada standar-standar yang ditetapkan, mulai dari tujuan, visi-misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan hingga pengembangan silabusnya

A.Kurikulum
Kurikulum adalah sejumlah mata ajaran yang harus ditempuh dan dipelajarai oleh siswa untuk memperoleh sejumlah pengetahuan (Hamalik, 2003: 16). Menurut nasution (1999: 5) kurikulum adalah segala usaha sekolah untuk mempengaruhi anak belajar apakah dalam ruangan kelas, dihalaman sekolahataupun diluar sekolah termsuk kurikulum.

Menurut hemat saya dari setiap perubahan kurikulum pendidikan telah menunjukkan perbaikan dari kurikulum-kurikulum sebelumnya. Namun hal itu tidak dibarengi dengan kemajuan kompetensi siswa yang dimiliki. Hal ini terbukti dari posisi negara kita dalam tingkat kemajuan pendidikan masih kalah jauh dengan negara tetangga yang notabene secara geografis negara kita lebih luas. Logikanya semakin luas, jumlah pendudukpun semakin banyak, otomatis bannyak bakat-bakat yang terdapat dalam setiap individu-individu bangsa Indonesia. Menurut Okta (2007), Secara peringkat. Berdasarkan dalam laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk bidang pendidikan, United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), yang dirilis pada Kamis (29/11/07) menunjukkan, peringkat Indonesia dalam hal pendidikan turun dari 58 menjadi 62 di antara 130 negara di dunia. Mau tidak mau, itu menggambarkan bahwa kualitas pendidikan kita pun semakin dipertanyakan. Sebab, tingkat pendidikan Indonesia kian melorot.

Jika melihat fakta ini sungguh ironis, tidak sebanding dengan fakta atas perubahan-perubahan yang sudah dilakukan sebanyak 7 kali yaitu pada tahun 1947, 1952, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006. Menurut (dari di internet) negeri kita hanya mampu menjadi bangsa “panjual” tenaga kerja murah di negeri orang. Dari pendapt di atas dapat disimpulkan betapa gagalnya dunia pendidikan di negara kita ini yang telah gagal dalam melahirkan tenaga-tenga yang berkualitas yang mampu bersaing dalam dunia kerja, walaupun kurikulum telah mengalami perubahan sebanyak 7 kali, atau bisa disebut berkali-kali.

Hal ini juga diungkapkan oleh Prof. Aleks Maryunus guru besar Universitas Negeri Padang menyebutkan bahwa “selama ini sibuk mengurusi dan membenahi dokumen tetulisnya saja”. Menurutnya perubahan kurikulum di negara kita lebih menitikberatkan pada perubahan konsep tertulisnya saja (berupa buku-bukupelajran dan silabus saja) tanpa mau memperbaiki proses pelaksanaannya di tingkat sekolah. Sedangkan proses dan hasilnya tak pernah mampu dijawab oleh kurikulum pendidikan kita.

Kurikulum kita 7 kali telah mengalami pergantian. Faktor-faktor apa saja yang menyababkan perubahan itu. Jika diamati perubahan kurikulum dari tahun 1947 hingga 2006 yang menjadi faktor atas perubahan itu diantaranya: (1) menyesuaikan dengan perkembangan jaman, hal ini dapat kita lihat awal perubahan kurikulum dari rentJana pelajaran 1947 menjadi renjtana pelajaran terurai 1952. Awalya hanya mengikuti atau meneruskan kurikulum yang ada kemudian dikembangkan lagi dengan lebih menfokuskan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari. (2) kepentingan politis semata, hal ini sangat jelas terekam dalam perubahan kurikulum 2004 (KBK) menjadi kurklum 2006 (KTSP). Secara matematis masa aktif kurikulum 2004 sebelum diubah menjadi kurikulum 2006 hanya bertahan selama 2 tahun. Hal ini tidak sesuai dengan perkembangan sebelum-sebelumnya. Dalam kurun waktu yang singkat ini, kita tidak bisa membuktikan baik tidaknya sebuah kerikulum. Hal senada juga diungkapkan oleh Bagus (2008), menyebutkan bahwa lahirnya kurikulum 1968 hanya bersifat politis saja, yaitu mengganti Rencana pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama.

Hal senada juga diungkapkan oleh Hamalik (2003: 19) menyebutkan bahwa dalam perubahan kurikulum dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya:
1.Tujuan filsafat pendidikan nasional yang dijadikan yang dijadikan sebagai dasar untuk merumuskan tujuan institusional yang pada gilirannya menjadi landasan merumuskan tujuan kurikulum suatu satuan pendidikan.
2.Sosial budaya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat
3.Keadaan lingkungan (interpersonal, kultural, biokologi, geokologi).
4.Kebutuhan pembangunan POLISOSBUDHANKAM
5.Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan sistem nilai dan kemanusiaan serta budaya bangsa.

Menurut, S. Nasution (dalam Jumari (2007) menyebutkan bahwa perubahan kurikulum mengikuti dua prosedur, yaitu Administrative approach dan grass roots approach. Administrative approach, yaitu suatu perubahan atau pembaharuan yang direncanakan oleh pihak atasan untuk kemudian diturunkan kepada instansi-instansi bawahan sampai kepada guru-guru, jadi from the top down, dari atas ke bawah, atas inisiatif para administrator. Yang kedua, grass roots approach, yaitu yang dimulai dari akar, from the bottom up, dari bawah ke atas, yakni dari pihak guru atau sekolah secara individual dengan harapan agar meluas ke sekolah-sekolah lain.

Kurikulum yang terbaru adalah kurikulum 2006 KTSP yang merupakan perkembangan dari kurikulum 2004 KBK. Kurikulum 2006 yang digunakan pada saat ini merupakan kurikulum yang memberikan otonomi kepada sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan yang puncaknya tugas itu akan diemban oleh masing masing pengampu mata pelajaran yaitu guru. Sehingga seorang guru disini menurut Okvina (2009) benar-benar digerakkan menjadi manusia yang professional yang menuntuk kereatifitasan seorang guru. Kurikulum yang kita pakai sekarang ini masih banyak kekurangan di samping kelebihan yang ada. Kekurangannya tidak lain adalah (1) kurangnya sumber manusia yang potensial dalam menjabarkan KTSP dengan kata lin masih rendahnya kualitas seorang guru, karena dalam KTSP seorang guru dituntut untuk lebihh kreatif dalam menjalankan pendidikan. (2) kurangnya sarana dan prasarana yang dimillki oleh sekolah.
Kesimpulan
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan kerikulum dari tahun ketahun menunjukkan kemajuan yang cukup baik jika diihat dari kontektual. Namun hal itu tidak seiring dengan kenyataan di lapangan. Keadaan pendidikan mulai saat perubahan kurikulum pertama kali hingga saat ini, kalau boleh saya bilang kurikulumm Indonesia masih berjalan di Tempat artinya tidak berkembang hal bisa dibuktikan dengan data yang menunjukkan pperingkat Indonesia masih berada pada No 62 dari 130 negara yang ada. Hal ini merupakan PR bagi pemerintah bagaimana langkah yang harus dilakukan.


Penilaian Hasil Belajar Siswa
A. Pengertian Evaluasi, Pengukuran, Tes dan Penilaian (Assessment)
Penilaian Hasil Belajar11Banyak orang mencampuradukkan pengertian antara evaluasi, pengukuran (measurement), tes, dan penilaian (assessment), padahal keempatnya memiliki pengertian yang berbeda. Evaluasi adalah kegiatan identifikasi untuk melihat apakah suatu program yang telah direncanakan telah tercapai atau belum, berharga atau tidak, dan dapat pula untuk melihat tingkat efisiensi pelaksanaannya. Evaluasi berhubungan dengan keputusan nilai (value judgement). Stufflebeam (Abin Syamsuddin Makmun, 1996) memengemukakan bahwa : educational evaluation is the process of delineating, obtaining,and providing useful, information for judging decision alternatif . Dari pandangan Stufflebeam, kita dapat melihat bahwa esensi dari evaluasi yakni memberikan informasi bagi kepentingan pengambilan keputusan. Di bidang pendidikan, kita dapat melakukan evaluasi terhadap kurikulum baru, suatu kebijakan pendidikan, sumber belajar tertentu, atau etos kerja guru.
Pengukuran (measurement) adalah proses pemberian angka atau usaha memperoleh deskripsi numerik dari suatu tingkatan di mana seorang peserta didik telah mencapai karakteristik tertentu.
Penilaian (assessment) adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar peserta didik atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) peserta didik. Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang peserta didik.Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif (pernyataan naratif dalam kata-kata) dan nilai kuantitatif (berupa angka). Pengukuran berhubungan dengan proses pencarian atau penentuan nilai kuantitatif tersebut.
Tes adalah cara penilaian yang dirancang dan dilaksanakan kepada peserta didik pada waktu dan tempat tertentu serta dalam kondisi yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang jelas.
Secara khusus, dalam konteks pembelajaran di kelas, penilaian dilakukan untuk mengetahui kemajuan dan hasil belajar peserta didik, mendiagnosa kesulitan belajar, memberikan umpan balik/perbaikan proses belajar mengajar, dan penentuan kenaikan kelas. Melalui penilaian dapat diperoleh informasi yang akurat tentang penyelenggaraan pembelajaran dan keberhasilan belajar peserta didik, guru, serta proses pembelajaran itu sendiri. Berdasarkan informasi itu, dapat dibuat keputusan tentang pembelajaran, kesulitan peserta didik dan upaya bimbingan yang diperlukan serta keberadaan kurikukulum itu sendiri.
B. Tujuan Penilaian
Penilaian memiliki tujuan yang sangat penting dalam pembelajaran, diantaranya untuk grading, seleksi, mengetahui tingkat penguasaan kompetensi, bimbingan, diagnosis, dan prediksi.
  1. Sebagai grading, penilaian ditujukan untuk menentukan atau membedakan kedudukan hasil kerja peserta didik dibandingkan dengan peserta didik lain. Penilaian ini akan menunjukkan kedudukan peserta didik dalam urutan dibandingkan dengan anak yang lain. Karena itu, fungsi penilaian untuk grading ini cenderung membandingkan anak dengan anak yang lain sehingga lebih mengacu kepada penilaian acuan norma (norm-referenced assessment).
  2. Sebagai alat seleksi, penilaian ditujukan untuk memisahkan antara peserta didik yang masuk dalam kategori tertentu dan yang tidak. Peserta didik yang boleh masuk sekolah tertentu atau yang tidak boleh. Dalam hal ini, fungsi penilaian untuk menentukan seseorang dapat masuk atau tidak di sekolah tertentu.
  3. Untuk menggambarkan sejauh mana seorang peserta didik telah menguasai kompetensi.
  4. Sebagai bimbingan, penilaian bertujuan untuk mengevaluasi hasil belajar peserta didik dalam rangka membantu peserta didik memahami dirinya, membuat keputusan tentang langkah berikutnya, baik untuk pemilihan program, pengembangan kepribadian maupun untuk penjurusan.
  5. Sebagai alat diagnosis, penilaian bertujuan menunjukkan kesulitan belajar yang dialami peserta didik dan kemungkinan prestasi yang bisa dikembangkan. Ini akan membantu guru menentukan apakah seseorang perlu remidiasi atau pengayaan.
  6. Sebagai alat prediksi, penilaian bertujuan untuk mendapatkan informasi yang dapat memprediksi bagaimana kinerja peserta didik pada jenjang pendidikan berikutnya atau dalam pekerjaan yang sesuai. Contoh dari penilaian ini adalah tes bakat skolastik atau tes potensi akademik.
Dari keenam tujuan penilaian tersebut, tujuan untuk melihat tingkat penguasaan kompetensi, bimbingan, dan diagnostik merupakan peranan utama dalam penilaian.
Sesuai dengan tujuan tersebut, penilaian menuntut guru agar secara langsung atau tak langsung mampu melaksanakan penilaian dalam keseluruhan proses pembelajaran. Untuk menilai sejauhmana siswa telah menguasai beragam kompetensi, tentu saja berbagai jenis penilaian perlu diberikan sesuai dengan kompetensi yang akan dinilai, seperti unjuk kerja/kinerja (performance), penugasan (proyek), hasil karya (produk), kumpulan hasil kerja siswa (portofolio), dan penilaian tertulis (paper and pencil test). Jadi, tujuan penilaian adalah memberikan masukan informasi secara komprehensif tentang hasil belajar peserta didik, baik dilihat ketika saat kegiatan pembelajaran berlangsung maupun dilihat dari hasil akhirnya, dengan menggunakan berbagai cara penilaian sesuai dengan kompetensi yang diharapkan dapat dicapai peserta didik.
C. Pendekatan Penilaian
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam melakukan penilaian hasil belajar, yaitu penilaian yang mengacu kepada norma (Penilaian Acuan Norma atau norm-referenced assessment) dan penilaian yang mengacu kepada kriteria (Penilaian Acuan Kriteria atau criterion referenced assessment). Perbedaan kedua pendekatan tersebut terletak pada acuan yang dipakai. Pada penilaian yang mengacu kepada norma, interpretasi hasil penilaian peserta didik dikaitkan dengan hasil penilaian seluruh peserta didik yang dinilai dengan alat penilaian yang sama. Jadi hasil seluruh peserta didik digunakan sebagai acuan. Sedangkan, penilaian yang mengacu kepada kriteria atau patokan, interpretasi hasil penilaian bergantung pada apakah atau sejauh mana seorang peserta didik mencapai atau menguasai kriteria atau patokan yang telah ditentukan. Kriteria atau patokan itu dirumuskan dalam kompetensi atau hasil belajar dalam kurikulum berbasis kompetensi.
Dalam pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi, pendekatan penilaian yang digunakan adalah penilaian yang mengacu kepada kriteria atau patokan. Dalam hal ini prestasi peserta didik ditentukan oleh kriteria yang telah ditetapkan untuk penguasaan suatu kompetensi. Meskipun demikian, kadang kadang dapat digunakan penilaian acuan norma, untuk maksud khusus tertentu sesuai dengan kegunaannya, seperti untuk memilih peserta didik masuk rombongan belajar yang mana, untuk mengelompokkan peserta didik dalam kegiatan belajar, dan untuk menyeleksi peserta didik yang mewakili sekolah dalam lomba antar-sekolah.
D. Ruang Lingkup Penilaian Hasil Belajar
Hasil belajar peserta didik dapat diklasifikasi ke dalam tiga ranah (domain), yaitu: (1) domain kognitif (pengetahuan atau yang mencakup kecerdasan bahasa dan kecerdasan logika – matematika), (2) domain afektif (sikap dan nilai atau yang mencakup kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi, dengan kata lain kecerdasan emosional), dan (3) domain psikomotor (keterampilan atau yang mencakup kecerdasan kinestetik, kecerdasan visual-spasial, dan kecerdasan musikal).
Sejauh mana masing-masing domain tersebut memberi sumbangan terhadap sukses seseorang dalam pekerjaan dan kehidupan ? Data hasil penelitian multi kecerdasan menunjukkan bahwa kecerdasan bahasa dan kecerdasan logika-matematika yang termasuk dalam domain kognitif memiliki kontribusi hanya sebesar 5 %. Kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi yang termasuk domain afektif memberikan kontribusi yang sangat besar yaitu 80 %. Sedangkan kecerdasan kinestetik, kecerdasan visual-spatial dan kecerdasan musikal yang termasuk dalam domain psikomotor memberikan sumbangannya sebesar 5 %
Namun, dalam praxis pendidikan di Indonesia yang tercermin dalam proses belajar-mengajar dan penilaian, yang amat dominan ditekankan justru domain kognitif. Domain ini terutama direfleksikan dalam 4 kelompok mata pelajaran, yaitu bahasa, matematika, sains, dan ilmu-ilmu sosial. Domain psikomotor yang terutama direfleksikan dalam mata-mata pelajaran pendidikan jasmani, keterampilan, dan kesenian cenderung disepelekan. Demikian pula, hal ini terjadi pada domain afektif yang terutama direfleksikan dalam mata-mata pelajaran agama dan kewarganegaraan.
Agar penekanan dalam pengembangan ketiga domain ini disesuaikan dengan proporsi sumbangan masing-masing domain terhadap sukses dalam pekerjaan dan kehidupan, para guru perlu memahami pengertian dan tingkatan tiap domain serta bagaimana menerapkannya dalam proses belajar-mengajar dan penilaian.
Perubahan paradigma pendidikan dari behavioristik ke konstruktivistik tidak hanya menuntut adanya perubahan dalam proses pembelajaran, tetapi juga termasuk perubahan dalam melaksanakan penilaian pembelajaran siswa. Dalam paradigma lama, penilaian pembelajaran lebih ditekankan pada hasil (produk) dan cenderung hanya menilai kemampuan aspek kognitif, yang kadang-kadang direduksi sedemikian rupa melalui bentuk tes obyektif. Sementara, penilaian dalam aspek afektif dan psikomotorik kerapkali diabaikan.
Dalam pembelajaran berbasis konstruktivisme, penilaian pembelajaran tidak hanya ditujukan untuk mengukur tingkat kemampuan kognitif semata, tetapi mencakup seluruh aspek kepribadian siswa, seperti: perkembangan moral, perkembangan emosional, perkembangan sosial dan aspek-aspek kepribadian individu lainnya. Demikian pula, penilaian tidak hanya bertumpu pada penilaian produk, tetapi juga mempertimbangkan segi proses.
Kesemuanya itu menuntut adanya perubahan dalam pendekatan dan teknik penilaian pembelajaran siswa. Untuk itulah, Depdiknas (2006) meluncurkan rambu-rambu penilaian pembelajaran siswa, dengan apa yang disebut Penilaian Kelas.

1.  Pengertian Hasil Belajar

Hasil Belajar Siswa - Belajar dan mengajar merupakan konsep yang tidak bisa dipisahkan. Beajar merujuk pada apa yang harus dilakukan seseorang sebagai subyek dalam belajar. Sedangkan mengajar merujuk pada apa yang seharusnya dilakukan seseorang guru sebagai pengajar.

Dua konsep belajar mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru terpadu dalam satu kegiatan. Diantara keduannya itu terjadi interaksi dengan guru. Kemampuan yang dimiliki siswa dari proses belajar mengajar saja harus bisa mendapatkan hasil bisa juga melalui kreatifitas seseorang itu tanpa adanya intervensi orang lain sebagai pengajar.

Oleh karena itu
hasil belajar yang dimaksud disini adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki seorang siswa setelah ia menerima perlakukan dari pengajar (guru),  seperti yang dikemukakan oleh Sudjana.

Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2004 : 22). Sedangkan menurut Horwart Kingsley dalam bukunya Sudjana membagi tiga macam hasil belajar mengajar : (1). Keterampilan dan kebiasaan, (2). Pengetahuan dan pengarahan, (3). Sikap dan cita-cita (Sudjana, 2004 : 22).

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan keterampilan, sikap dan keterampilan yang diperoleh siswa setelah ia menerima perlakuan yang diberikan oleh guru sehingga dapat mengkonstruksikan pengetahuan itu dalam kehidupan sehari-hari.

2.  Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar

Hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor dari dalam diri siswa dan faktor dari luar diri siswa (Sudjana, 1989 : 39). Dari pendapat ini faktor yang dimaksud adalah faktor dalam diri siswa perubahan kemampuan yang dimilikinya seperti yang dikemukakan oleh Clark (1981 : 21) menyatakan bahwa hasil belajar siswa disekolah 70 % dipengaruhi oleh  kemampuan siswa dan 30 % dipengaruhi oleh lingkungan. Demikian juga faktor dari luar diri siswa yakni lingkungan yang paling dominan berupa kualitas pembelajaran (Sudjana, 2002 : 39).

"Belajar  adalah suatu perubahan perilaku, akibat interaksi dengan lingkungannya" (Ali Muhammad, 204 : 14). Perubahan perilaku dalam proses belajar terjadi akibat dari interaksi dengan lingkungan. Interaksi biasanya berlangsung secara sengaja. Dengan demikian belajar dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan dalam diri individu. Sebaliknya apabila terjadi perubahan dalam diri individu maka belajar tidak dikatakan berhasil.

Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh kamampuan siswa dan kualitas pengajaran. Kualitas pengajaran yang dimaksud adalah profesional yang dimiliki oleh guru. Artinya kemampuan dasar guru baik di bidang kognitif (intelektual), bidang sikap (afektif) dan bidang perilaku (psikomotorik).

Dari beberapa pendapat di atas, maka hasil belajar siswa dipengaruhi oleh dua faktor dari dalam individu siswa berupa kemampuan personal (internal) dan faktor dari luar diri siswa yakni lingkungan. Dengan demikian hasil belajar adalah sesuatu yang dicapai atau diperoleh siswa berkat adanya usaha atau fikiran yang mana hal tersebut dinyatakan dalam bentuk penguasaan, pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupa sehingga nampak pada diri indivdu penggunaan penilaian terhadap sikap, pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupan sehingga nampak pada diri individu perubahan tingkah laku secara kuantitatif. Hasil belajar siswa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar